Perkelahian di Sekolah: Berhenti di Mediasi, Kurang di Langkah Preventif

Ilustrasi: Pemukulan oleh siswa (Sumber: jabarekspres.com)


Apa sih yang bikin geger dari suatu sekolah? Biasanya tidak jauh-jauh dari kasus bullying, pungutan liar, kelakuan siswa, atau gaji guru yang buat hidup seminggu aja ndak cukup. Berita zonasi? Jelas belum cukup bikin geger dulur Madiun, perlu ditambahi sama kasus pemukulan siswa SMP, eh. 

Buat yang belum baca beritanya, jadi begini; menurut detik.com, ada seorang siswa yang tersenggol alat kelaminnya padahal dia baru aja disunat. Siswa ini akhirnya nangis, dan sebenarnya udah didamaikan sama gurunya. Ternyata, ada teman siswa ini yang madul ke kakak siswa yang baru aja sunat itu. Alhasil, kakak siswa ini (yang ternyata juga kakak kelas, masih kelas 2 SMP) langsung memukul siswa yang menyenggol alat kelamin adiknya itu. 

Kira-kira gitu beritanya. Kalau belum puas, ya baca sendiri aja ya di portal beritanya, hehe. 

Lanjut. Kalau ditelisik agak lebih jauh, sebenarnya masalah pemukulan itu terjadi karena emosi yang meledak, amarah yang tidak bisa dikendalikan atau dikelola. Memang, hal tersebut wajar dialami oleh ABG alias remaja. Di masa pertumbuhan dan perkembangan, remaja seringkali mengalami gejolak emosi yang meluap-luap. Bahkan terkadang, remaja tidak memahami dirinya sendiri. Hal ini sebagai manifestasi dari “pencarian jati diri”. 

Tidak serta merta kita salahkan si siswa tersebut. Namanya juga remaja. Nah, perlu peran orang dewasa. Peran orang dewasa ini yang seringkali disalahpahami hanya sekadar mediasi; mempertemukan anak-anak yang berkelahi beserta orang tuanya. Ketika sudah didapatkan permintaan maaf dan ke-legowo-an masing-masing pihak, maka sudah cukup. Padahal, kasus bully atau perkelahian di sekolah terus terdengar dikarenakan penyelesaian yang hanya di permukaan itu. 

Jika kita menyelami emosi atau amarah yang meledak, maka tentu berkaitan dengan kondisi psikologis seseorang. Seperti yang sudah disebutkan, remaja memerlukan pendampingan yang kontinu dari orang sekitar. Baik dari orang tua maupun guru di sekolah. Pendampingan ini bukan sekadar menghukum mereka yang melanggar aturan, atau memarahi mereka ketika terlambat ke sekolah. Pendampingan psikologis bisa diwujudkan dari komunikasi dari hati ke hati dengan remaja. 

Seringkali, amarah yang meledak atau mendadak menjadi pelampiasan remaja yang lelah secara mental. Remaja merasa tidak mengenali dirinya sendiri, atau bingung dengan dirinya atau apa yang terjadi padanya. Karena tidak mengetahui cara mengatur emosinya, akhirnya mereka menumpahkannya pada kekerasan. Meluapkan emosi pada kekerasan juga bisa menjadi tanda bahwa remaja mencontoh perilaku orang di sekitarnya. Jika remaja tumbuh dari keluarga yang kerap melakukan KDRT, sudah barang tentu ia akan melakukan hal serupa ketika marah karena terbiasa hidup dalam lingkungan yang demikian. 

Peran orang tua jelas sangat berpengaruh pada perkembangan emosi remaja sebagai agen utama sosialisasi (keluarga). Namun, peran guru di sekolah juga tak kalah penting. Terutama, guru BK (Bimbingan Konseling). Jangan sampai, BK hanya dikenal menjadi tempat anak-anak nakal. Big No!. BK bisa mewadahi semua siswa, dan BK bisa mencegah minimnya pengelolaan emosi siswa. Sebagai guru BK, harusnya memahami kebutuhan emosional yang bisa jadi belum terpenuhi ketika siswa berada di lingkungan sosial lain seperti keluarga atau teman. Guru BK harus bisa mengidentifikasi kondisi psikologis siswa sehingga memahami alasan dibalik perilaku kekerasan yang dilakukan seseorang siswa. 

Intinya adalah, perilaku kekerasan harus dilihat secara lebih jauh oleh orang tua dan juga guru. Jangan sampai penyelesaian kekerasan yang dilakukan siswa hanya berhenti pada “damai”. Orang tua dan guru harus bisa mengenali anak dan siswanya sendiri sehingga memahami cara terbaik untuk mencegah perilaku kekerasan kembali dilakukan.