Warna Nila : Warna Khas Madiun yang Jarang Dikenal?

Madiun pasca perjanjian Giyanti merupakan daerah penghasil warna Nila

Ilustrasi Warna Nila Khas Madiun

Banyak yang mengenal warna Nila atau disebut juga dengan Indigo. Nila adalah warna pada spektrum yang panjang gelombangnya antara 450 dan 420 nanometer yang berada di antara biru dan violet pada roda warna Brewster. warna biru tua yang sangat dalam, yang berada diantara biru dan violet pada roda warna Brewster. warna nila termasuk dalam salah satu dari tujuh warna pelangi, atau dalam spektrum optik yang didefinisikan Isaac Newton, setelah hijau dan sebelum ungu. Kata “indigo” diambil dari nama tumbuhan dari genus Indigofera yang merupakan tanaman spesies keluarga kacang-kacangan yang digunakan sebagai pewarna pakaian, dalam bahasa Indonesia tanaman ini disebut juga dengan tarum yang diambil dari bahasa sunda.

Sejarah Warna Nila Warna nila atau indigo sudah dikenal sejak 4000 SM yang berasal dari Huaca Prieta, Peru. Spesies Indigofera yang menjadi sumber warna nila dibudidayakan di Asia Timur, Mesir , India dan Peru pada zaman kuno. Sejak abad ke-7 SM orang-orang sudah memanfaatkan tanaman Indigofera sebagai pewarna. sampai akhirnya bangsa Mesopotamia juga meracik warna nila menggunakan tanah liat, agar bisa disimpan.

Penjelajah Spanyol menemukan spesies indigo Amerika dan mulai mengolah produk di Guatemala . Inggris dan Prancis kemudian mulai mendorong penanaman nila di koloni mereka di Hindia Barat . Untuk pewarna biru di Negara-negara Eropa dibuat dari dua jenis tanaman yang berbeda yaitu tanaman indigo, yang menghasilkan hasil terbaik, dan dari tanaman woad Isatis tinctoria yang juga dikenal sebagai pastel. Untuk waktu yang lama, woad merupakan sumber utama pewarna biru di Eropa. Woad kemudian digantikan oleh indigo asli ketika rute perdagangan dibuka, dan kedua sumber tanaman sekarang sebagian besar telah digantikan oleh pewarna sintetis.

Madiun pasca perjanjian Giyanti merupakan daerah penghasil warna Nila. Nah, dari sini kita bisa mengkaji secara historical, bahwa warna nila bisa dijadikan warna khas dari tanah kelahiran kita. Itupun bilamana pemerintah terkait mau. Dulu ada banyak faktor dimana tradisi pewarnaan alami itu mengalami penurunan. Salah satunya adalah hilangnya tanaman tradisional, ketika hutan menjadi perkebunan di berbagai wilayah. Selain itu, pola pewarisan kekayaan tekstil tradisional juga dilakukan dengan kurang maksimal.

Warna memiliki peran besar dalam masyarakat tradisional. Dalam berbagai upacara adat misalnya, makanan disajikan dalam satu warna untuk mewakili filosofi tertentu. Dalam masyarakat Jawa, setidaknya dikenal lima warna atau Pancawarna, yaitu hitam, merah, kuning, putih, dan satu warna campuran dari empat warna tersebut.

Karena berasal dari bahan alami, masyarakat tradisional percaya bahwa warna datang dari matahari melalui proses fotosintesis. Para ahli warna, yang mampu memunculkan warna-warni dari bahan alam, memiliki posisi sosial cukup tinggi.

Para penemu warna zaman dahulu itu sering disamakan dengan orang yang sakti, alkemis. Karena dia bisa secara ajaib memindahkan warna yang ada pada proses alami ke dalam substansi material, dalam kain, dan semacamnya.

Namun, posisi itu mulai berubah pada pertengahan abad ke-19, ketika warna sintetis mulai digunakan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Maka, jika sekarang tren kembali ke warna alami digemari masyarakat, sebenarnya mereka kembali pada tradisi. Langkah tren tersebut, dapat kita tangkap bersama. Madiun memiliki Nila dengan tanaman Indigoveranya. Menjadi bagian dari upaya masyarakat untuk hidup lebih selaras dengan alam. Apapun seragam pencakmu, udeng dan jaritnya bisa berwarna Nila karena memiliki akar sejarah dengan tanah kita.

MOJAV ( MADIUN MIRACLE OF JAVA )

Ditulis oleh

Mas Adjar Dwija tanaya ( HOKAGE PERKOEL ), Pemerhati Sejarah Madiun