Insan Muda Ndeso Madiun Srawung Ibu Kota, Kaget Bukan Maen

Menjajal MRT Jakarta di Stasiun Blok M

Beberapa pekan lalu saya diberi kesempatan semesta untuk sejenak singgah di Ibu Kota, 8 jam perjalanan menikmati beton jalan tol, ditemani view pegunungan yang esthetix serta paduan suara klakson mobil arogan bernama fortuner and pajero sport. Perjalanan berlangsung begitu was was wat wet karena sang sopir telah kenyang melahap jalur tol Madiun - Jakarta. Wajar, beliau ini sopir kyai yang mobilitasnya ngeri.

Layaknya insan ndeso pada umumnya. Saya merasa berada pada bayang bayang khayal dengan batin sing kudu nyocot “Iki jakarta toh su? Kota sing kaet cilik mung iso tak sawang lewat TV, kota yang begitu diagung agungkan oleh rakyat ndeso plesir koyok aku“ Bahkan pas aku SD, bersliweran stigma yen salah satu indikator kesuksesan adalah kerjo nang Jakarta, masio mbabu ngosek WC tapi lak Jakarta panggah worth it gawe menaikkan derajat keluarga.

Masih berada pada bayang bayang khayal wong ndeso, plesir ibu kota kali ini saya sengaja mengajak tour guide kelas atas yang magang di Dewan Transportasi Kota Jakarta, dia adalah Dhidan Tomyagistyawan, bersamanya gua menjajal moda transportasi cepat bernama MRT, meminum secangkir kopi tiwus dengan obrolan ndakik ndakik bertemakan tasawuf industrial. Melihat gerak langkah wong Jakarta sing progresif lan ora klemar klemer surely membikin gua agak drandapen nyawangnya.

Singgah sebentar nang Blok M untuk bercengkrama membahas isu deradikalisasi dan modernisasi kaos kaki dalam perspektif tungkak jaran bersama tour guide andalan. Blok M ini jadi tempat ngehits yang setara dengan Tawangmangu kalau konteksnya kita kembalikan ke kalcer sista-sista plat AE (katanya). Tak banyak yang saya lakukan di Blok M, saya tak sempat futsal apalagi mendakwahkan islam nusantara yang katanya moderat itu. yang pasti harga le mineral ukuran tanggung masih stabil di angka 0,0000001 BTC atau setara dengan 0,00001 ETH.

Malamnya saya dan Gus Aji berlagak bak bos tambang batu bara yang jadi nasabah prioritas BCA, dengan chinos pendek dan kaos polos serta travel pouch ditangan kanan, kami berdua begitu PD memasuki mall yang (katanya) jadi mall terbesar di Jakarta itu. Singkat cerita, tujuan akhir dari nrutus in the mall iki berakhir nang starbak kopi, saya langsung ndolop dan sejenak mengucek mata saat melihat harga kopi dan snack nang kene. Dalam hati saya bertasbih “GAK MASOK AKAL SUUU!

Seonggok red velvet rool cake dan caramel machiato 355 ml akhirnya jadi pilihan, rasanya sebanding dengan harganya atau bahasa jakselnya worth it lah sama uang yang gua keluarin. Kami bicara ngalor ngidul di kedai kopi satu ini, ditengah hantaman kalcer njadum loe gue loe gue, hadir pria berbaju putih dengan logo Jawa Timur didada kanannya. “Sampean wong ngendi mas” tanya si pria. “Wahh aku Madiun mas”, singkat cerita ternyata mas’e iki wong Slahung Ponorogo sing lagi proyekan nang Jakarta Timur.

Tak lama berselang kedai kopi berlogo wanita ini sesak dipenuhi pelanggan. Ditengah hingar bingar njadum, telinga saya dengan sadar mendengar ocehan rakyat Jakarta yang very very insaikful ini. Ada yang bahas problematika hidup, bisnis, dinamika pembangunan, strategi teknologi, matinya kepakaran, ideologi terlarang, kedaulatan data, kebijakan publik bahkan ada tema pembicaraan yang begitu futuristik seperti metaverse dengan segala instrumen terkait. Ya seperti inilah secuil kisah tidak patio penting tapi layak dicaci. Semoga sukses jadi insan munafik yang paling paripurna, oh iya saya dan Dhidan ini pernah mampir ke Mardjo POP Caruban lo.

Ditulis Oleh Geza Bayu Santoso