Sopir Raja Jalanan Dalam Himpitan Waktu

Siang itu, Terminal Tirtonadi tak seramai biasanya. Hanya segelintir orang yang berlalu lalang membawa tas punggung yang nampak penuh. Riuh terdengar sapaan ibu-ibu yang menjajakan menu yang ia sediakan, “Monggo pinarak mbak e (silakan mampir, mbak), soto, bakso, mie ayam”. Suatu hal yang tak akan asing bagi para calon penumpang di sepanjang jalan dalam salah satu terminal terbesar di Asia Tenggara tersebut.

Selang beberapa lama berjalan menuju area terminal bagian timur, nampak para mandor sudah siap menjemput calon penumpang, “arep ning ngendi, mbak? (mau kemana, mbak?)”, tanya mereka. Begitu dijawab, dengan sigap mereka akan mengarahkan pada bus yang akan mengantarkan ke tujuan. Terlihat bus Mira dan Sugeng Rahayu parkir berdampingan.

Foto: Kru bis berbincang selama menunggu jadwal berangkat kembali.
(Sumber: Dokumentasi penulis)

Di sekeliling bus, para kru seperti sopir, kernet, dan kondektur, asyik menghisap rokok masing-masing. Duduk di pinggir pembatas jalur, tak jarang sesekali bertegur sapa dengan kru bus lain. Terdengar sayup-sayup mereka saling bertanya kabar kru yang lain. Seorang kernet duduk jongkok dengan asap mengepul. Saya pun mendekatinya, bincang-bincang sejenak sebelum naik ke bus Mira arah Surabaya. Belakangan saya ketahui namanya Rohman, kernet Bus Sumber yang dikenal dengan julukan “Bella”.

“Mas, penumpang e malih sepi ora mboso BBM mundak? (Penumpangnya jadi sepi tidak setelah harga BBM naik?)”, tanya saya.

Yo ngeneki malih sepi to mbak (Ya kayak gini jadi sepi lah mbak).” ujarnya.

Penurunan jumlah penumpang ini ternyata juga berpengaruh pada pendapatannya sebagai kernet yang sering telat bahkan kurang. Dengan kata lain, gajinya tidak pasti.

Alah yo ora tetap, mbak. Gaene yo telat, sok-sok yo kurang. Ora pasti (Ya tidak tetap, mbak. Sering telat juga, kadang-kadang juga kurang. Tidak pasti.)."

Kebetulan, saya berniat menumpangi bus yang dibawanya. Ia menjelaskan kira-kira akan tiba di Terminal Bungurasih sekitar pukul 11 malam, dan pukul 2 malam sudah harus berangkat lagi menuju Yogyakarta. Walaupun merasa lelah, ternyata ia juga bisa bertahan mengikuti pola kerja kru bus, sampai sekarang.

Pembicaraan pun terhenti. Si Bella ternyata sudah harus berangkat. Para kru beranjak, termasuk sang sopir, Gunawan. Masih dengan rokoknya, perlahan bus keluar dari terminal memasuki gerbang tol Solo. Perjalanan relatif tenang dan sepi. Bus pun hanya setengah yang terisi penumpang.

Foto: Gunawan, bersiap memberangkatkan Bella dari Terminal Tirtonadi.
(Sumber: Dokumentasi penulis)

Memasuki Mantingan, Ngawi, bus mulai memacu kecepatannya. Entah berapa APILL – kerap disebut lampu merah – diterobos. Marka putih tanpa putus pun tak diindahkan. Si Bella tetap menyalip truk-truk besar di jalanan Hutan Ngawi. Melanggar rambu lalu lintas sudah biasa bagi kru. Mau tidak mau pelanggaran itu terus mereka lakukan demi menempuh trayek Surabaya-Yogyakarta atau Surabaya-Semarang hanya dalam waktu 10 jam.

Di lain kesempatan, Budi Wahono, mantan sopir bus AKAP yang bersedia menjelaskan lebih lanjut, “Jadwal sopir di Sugeng dan Mira itu 4/4, empat PP (Pulang-Pergi) jalan dan empat PP libur. Selama satu kali PP, memerlukan waktu 20 jam.”

Selain waktu perjalanan, waktu istirahat pun dibatasi. Kru hanya bisa istirahat selama 4 jam ketika bus telah masuk garasi. Ketika di terminal, hanya ada waktu 2 jam. Itu pun tidak digunakan untuk tidur, para kru biasanya makan atau ngopi.

Perusahaan memang tidak menuntut jumlah penumpang, namun sangat tegas terkait waktu tempuh perjalanan. Gaji sopir pun juga bergantung pada pendapatan hari itu, sebesar 15 persen dari keseluruhan hasil pembelian tiket.

Sementara itu, menanggapi banyaknya kecelakaan yang menimpa bus AKAP, ia juga turut prihatin, “Sebenarnya perusahaan sudah membatasi kecepatan maksimal 100 km per jam. Tapi kita juga ndak tau apa yang akan terjadi ketika turun di jalan, mbak.”. Biasanya, kernet akan menelepon kernet bus lain untuk mengetahui kondisi jalanan. Kemacetan, pembangunan jembatan dan jalan, adalah hal yang harus dihindari sopir bus.

Foto: Suasana kemudi bus Sugeng Rahayu jurusan Surabaya-Semarang.
(Sumber: Dokumentasi penulis)

Selain aturan terkait jam, perusahaan otobus (PO) juga menerapkan mekanisme lain: bus dilarang mendahului bus dari PO lain atau bus dari PO yang sama. Ini menjadi kesepakatan tidak tertulis antar PO. Sugeng Rahayu yang memiliki sekitar 300 bus, menjadwalkan armadanya keluar dari terminal awal setiap 5 menit sekali. Armada yang banyak ini lah yang menjadikan bus tidak boleh menyalip, kecuali jika bus tersebut harus lebih dulu tiba.

Sopir yang sudah belasan tahun membawa bus AKAP maupun pariwisata ini menyebutkan, jika terjadi kecelakaan, maka kru bis akan dikenai ganti rugi sebesar 10 hingga 15 persen dari total kerugian. Aturan tersebut dan pembatasan kecepatan sebenarnya menjadi upaya PO untuk mencegah angka kecelakaan.

Tidak dapat dipungkiri, angka kecelakaan yang tinggi menimbulkan banyak komentar di media sosial. Kebanyakan, mereka mengajak untuk tidak naik bus lagi. Wisnu, Ketua Kota Brem Bus Lovers menyebut, mayoritas mereka yang berkomentar negatif tentang bus sebenarnya bukan penumpang bus sehingga tidak tahu realita yang terjadi, “Kita sebenarnya sedih ya mbak sebagai pecinta bus. Jadi kru bus itu nggak mudah. Buat mereka yang komen kayak gitu, ya tolong jangan (berkomentar) gitu lagi. Kita nggak tahu kapan kita butuh naik bus.” timpalnya.

Terlepas dari berbagai kecelakaan, Sugeng Rahayu dan Mira yang menguasai jalan Jawa Timur ini masih memiliki tempat di hati penumpangnya. Suwaji, memilih bus Sugeng Rahayu untuk mengantarkannya bekerja setiap hari karena selalu tepat waktu. Di sisi lain, Latifah, lebih menyukai bus AKAP ekonomi ini karena murah dan rutenya dekat dengan rumahnya.