Carut Marut Praktik Budaya Potong Tumpeng, Kekeliruan yang Dilanggengkan

Tumpeng Dokumentasi Unsplash

Tumpeng, produk budaya yang terlalu sempit jika hanya dimaknai sebagai produk fisik, proses pembuatan tumpeng memiliki banyak sekali tahap yang didalamnya mengandung falsafah atau ajaran esensial akan hidup (baca:filosofis). Tradisi potong tumpeng selama ini menuai banyak perdebatan, memotong bagian pucuk tumpeng dinilai sebagai praktik kebudayaan yang keliru. Padahal, praktik memotong pucuk tumpeng sudah menjadi kebiasaan yang sampai hari ini masih masif dijalankan.

Kebiasaan ini harus diubah, meskipun merubah kebiasaan agar menyetarakan dapat berujung fatal. Bangsa eropa memiliki tradisi potong roti, kita mengikuti dengan membeo memotong puncak tumpeng. Memang informasi filosofi mengalami keterhambatan, hal-hal filosofis dirasa terlalu kuno dan sukar dipahami. Namun, tak ada salahnya kita bersama memberi informasi yang sebenarnya, agar tidak menjadi kebiasaan salah yang terus dilanggengkan. 

Tumpeng, gunungan nasi biasanya berwarna kuning dari kunyit (kuning/emas/kemakmuran) ber-pagarkan aneka sayur dan lauk ini merupakan hidangan yang lazim disuguhkan dalam berbagai kenduri maupun syukuran di negeri elok dengan beraneka suku didalamnya, yaitu bangsa kita. Setidaknya ada 17 jenis tumpeng dalam adat Jawa misalnya tumpeng megana, tumpeng pungkur, tumpeng kendit, dan banyak lagi. 

Manifestasi dari tumpeng adalah hubungan antara Sang Khalik dan mahluknya bertemu pada satu titik puncak kerucut nasi tumpeng. Dengan memotong tumpeng, berarti memotong permohonan do’a manusia kepada Tuhan. Cara makan tumpeng yang seharusnya adalah dengan dikepung atau harus dimakan bersama-sama mulai dari bawah, diambil nasi dengan lauknya. Lalu bergeser ke puncaknya dan terus turun sampai akhirnya puncak. 

Seperti manusia hidup, perlahan dari bawah kemudian meningkat ke atas sampai akhirnya menuju yang paling atas, Tuhan Yang Maha Esa. Jika bagian puncak nasi tumpeng diibaratkan simbol sebagai bertemunya Tuhan dengan manusia.  Maka, bagian lauk pauk adalah masyarakat. Menyantap nasi tumpeng bersama lauknya menandakan keutuhan, hidup harus berjalan seimbang antara sesama manusia dan kewajiban dengan Tuhan.

Biasanya orang yang diberi kesempatan untuk memotong tumpeng adalah orang yang memiliki kedudukan atau dihormati. Demikian juga untuk orang yang pertama kali diberi potongan nasi tumpeng. Nah, jikalau orang yang dihormati salah dalam melakukan adicara tumpengan yang penuh makna ini, alangkah lucunya praktik kebudayaan potong tumpeng selama ini.

Maka, menyikapi salah dalam memotong tumpeng yang sering kita lakukan dalam sebuah perayaan, perlu kiranya diberikan info filosofis dari acara tersebut. Memang tak ada larangan, dan  rujukan tertulis. Namun, bangsa kita memiliki puluhan bahkan ratusan tata aturan filosofis tak tertulis yang sebenarnya bila kode-kode tersebut terpecahkan ternyata ada makna tersembunyi. Semoga kita belajar dan terus mengupas makna tersembunyi dari simbol-simbol ke-elokan tradisi negeri ini. Agar puzzle informasi dapat terserap dan dimaknai semua golongan masyarakat.

Ditulis oleh Adjar Putra D. M.Pd, LESBUMI NU Madiun | Editor : Geza Bayu Santoso