Madiun Tidak Layak Menyandang Branding Kampung Pesilat!

Pencak silat adalah cinta, tugu-tugu yang berdiri kokoh adalah bentuk konkret definisi cinta itu sendiri. Bagi warga Madiun, budaya pencak silat adalah warisan leluhur yang agung. Budaya yang memadukan bela diri dan kejernihan rohani, upaya yang dijalankan untuk mewujudkan persaudaraan, meski yang dipetik malah benih pertikaian, fakta yang sangat menyedihkan, rungkat lur!

Madiun memang tak pernah belajar dari masa lalu, konflik pencak silat sudah jadi keniscayaan yang selalu ada dan bahkan berlipat ganda. Di tanah lahirnya 14 perguruan silat, pertikaian dipupuk sedemikian subur, perdamaian tinggal khayalan dan persaudaraan adalah kemustahilan yang terus diperjuangkan. Branding kampung pesilat, sudah waktunya dipertanyakan?

Alasan jadi kampung pesilat!

Memiliki 14 perguruan pencak silat yang jumlah anggotanya puluhan bahkan ratusan juta, antara lain: Persaudaraan Setia Hati Terate, Persuadaraan Setia Hati Tunas Muda Winongo, Persaudaraan Setia Hati Tuhu Tekad, IKS Kera Sakti, Ki Ageng Pandan Alas, Tapak Suci, Pro Patria, Persinas ASAD, Merpati Putih, Pagar Nusa, Cempaka Putih, Persinas ASAD, Persaudaraan Sejati, dan Persaudaraan Pangastuti Tundung Madiun. Kuantitas yang mengagumkan.

Dengan semangat persaudaraan, 14 perguruan silat diatas akhirnya bersatu dan mendeklarasikan diri menjadi Paguyuban Kampung Pesilat. Tujuan utamanya untuk menjaga kondusifitas, mencegah terjadinya gesekan antar-warga perguruan silat dan visi mulia menghapus stigma negatif akibat pemberontakan PKI di wilayah Madiun pada tahun 1948.

"Kami ingin pencak silat menjadi industri pariwisata sekaligus menjadi cabang olahraga prestasi yang pantas untuk dibanggakan. Ini adalah warisan budaya Indonesia. Jadi harus dilestarikan,” tegas Bupati Madiun periode 2008-2018, Muhtarom (2017). Kini, misi menjadikan pencak silat sebagai industri makin jauh dari angan-angan, jangankan ngurus industri, budaya silatnya saja masih jauh dari kata ideal.

Tidak tahu pasti kapan Kabupaten Madiun resmi menyandang julukan kampung pesilat. Dari beberapa literatur yang ada, kalau nggak ditetapkan sejak 2017 ya 2018, tidak jelas memang. Tapi, yang dapat kita pastikan, realisasi branding tersebut jauh dari kata efektif, strategi yang digunakan Pemerintah Kabupaten Madiun hanyalah upaya momentual seperti logo dan seremoni-seremoni belaka.

Branding yang berlebihan

Mudah saja mengatakan kenapa branding ini berlebihan. Ya, karena realisasi programnya jauh dari kata berhasil, komitmen dan efektivitas branding yang dilakukan belum terlihat dan layak dipertanyakan kembali, seremonial launching logo dan segala karya yang lahir untuk mendukung branding ini perlu dilihat kembali, sejauh mana dampak yang ditimbulkan.

Tidak adanya perencanaan yang jelas juga jadi alasan kenapa branding ini nampak dipaksakan, sampai esai ini ditulis, belum ada literatur ilmiah yang membahas grand design optimalisasi branding Madiun Kampung Pesilat. Menyedihkan, hal pokok nan mendasar semacam ini luput dari pembahasan.

Penelitian ilmiah semacam ini harus segera diupayakan, faktor-faktor apa saja yang memengaruhi keberhasilan regional branding harusnya sudah ada dan masif dibicarakan. Rujukan dan alternatif  dalam melaksanakan branding juga harus jelas, kalau masih serampangan seperti saat ini, lebih baik mancing dan ikut gantangan pleci saja, terlalu ndakik-ndakik kalau bahas industri pencak silat.

Pengembangan sumber daya manusia dan segala aspek yang mendukung optimalisasi para pesilat, mustinya jadi isu prioritas yang diperdebatkan kalangan struktural. Jangan sampai Madiun teriak Kampung Pesilat tapi prestasi para pesilat-nya kalah jauh dengan pesilat-pesilat daerah Jawa Barat. Bukankah hal yang menjadi keharusan, bumi kandung pencak silat memproduksi pendekar yang berkualitas dan berprestasi? 

Dengan modal budaya yang sudah mendunia ini, mbok nyuwun tulung dipikir yang serius, koordinasi antar stakeholder dalam mengelola potensi mbok dimaksimalkan, integrasi branding dengan rencana pembangunan daerah mbok dikoneksikan. Terakhir, alokasi anggaran untuk optimalisasi mbok ditambah, kalau tidak, ide-ide yang lahir hanyalah cangkeman belaka.

Perdamaian ilusi dan konflik yang abadi

Suasana mencekam dan menakutkan adalah makanan warga Madiun saat bulan suro, konvoi rombongan perguruan pencak silat adalah ancaman bagi masyarakat, meski kondisi semacam ini mulai jarang ditemui akhir-akhir ini. Namun, potensi untuk terulang juga tak kalah besar, pekik makian dan teror ketakutan, bisa datang kapan saja jika akar masalahnya tak kunjung dipangkas.

Lalu, kenapa konflik dan gesekan perguruan pencak silat di Madiun ini terus terulang. Ya, karena memang tak pernah belajar dari masa lalu. Sejak 1980-an sampai 2000-an, ricuh perguruan pencak silat konsisten menghiasi laman media. Bahkan, tragedi konflik pertikaian terbesar pernah terjadi pada dekade 1990-an. Lebih dari 20 ribu manusia terlibat dalam tragedi ini.

Dekade 2000-an konflik tetap terjadi, banyak yang bilang kalau akar masalahnya ada di “warga” yang baru pengesahan, ini licik, warga yang baru pengesahan adalah produk dari perguruan pencak silat, jika “warga” baru selalu jadi kambing hitam, maka yang perlu dilihat kembali adalah pola kaderisasi perguruan pencak silat yang selama ini dijalankan, apakah pernah ada pembenahan?

Jika ditelisik lebih dalam, akar masalah konflik perguruan pencak silat Madiun itu sederhana. Masalahnya berkutat pada ketersinggungan, ego sektoral, fanatisme, vandalisme. Problem manusiawi yang nampaknya abadi.

Lalu, apa yang harus dilakukan?

Permasalahan ini nggak akan selesai dengan panggung-panggung pertemuan atau podium rekonsiliasi, nasihat-nasihat yang muncul bukan lagi solusi untuk menyelesaikan konflik. Problem manusiawi semacam ini solusinya ya cuman mindset dan kedewasaan. Tapi sayang beribu sayang, kedewasaan bukan untuk semua orang!

Butuh sinergitas dari banyak pihak, pemerintah sebagai pembuat regulasi, akademisi sebagai peniliti dan sosok yang berperan penting dalam kerja perencanaan, swasta sebagai investor, media sebagai promotor sekaligus nyawa dari keberhasilan branding, dan aspek kunci yang tak kalah penting, masyarakat (tokoh pesilat) sebagai eksekutor lapangan. 

Tugas berat dan panjang, nampak mustahil untuk diwujudkan, tapi dengan segala kekuatan yang ada, dengan segala sumbangsih pikir dan materi, sebaik-baiknya upaya untuk mewujudkan perdamaian pencak silat di Madiun adalah dengan pesimis, rokokan, dan cangkeman. Semangat dulur-dulur, didalam kesulitan pasti ada kesulitan yang jauh lebih sulit. Tabik!


Ditulis oleh Geza Bayu Santoso

Editor : Dhidan Tomy/Dhidan Tomyagistyawan