25 Tahun Reformasi: Ilusi Demokrasi dan Omong Kosong Kebebasan

foto: idesejarah.net

Setiap kali mendengar reformasi, ada beberapa momen yang berputar dalam pikiran: turunnya Soeharto, gerakan mahasiswa, pemerkosaan, penembakan, penjarahan, pembakaran, dan ilusi kehidupan bernegara yang ideal. Sebagai generasi z yang lahir saat reformasi masih kanak-kanak, ya kira-kira masih 5 tahun usianya. Terminologi reformasi hanyalah istilah untuk mendefinisikan gebrakan baru guna memulai kebebasan. Kebebasan bernafas, berpikir, berpendapat, dan korupsi. 

Film berdurasi 106 menit dengan judul “Di Balik 98” adalah film drama yang minggu lalu tuntas sa tonton, film yang mengangkat tragedi kelam 98 dari sudut pandang kemanusiaan. Banyak angan-angan yang tervisualisasikan, sinema yang cukup berhasil merangkum porak-porandanya Indonesia, mulai dari krisis ekonomi,  gerakan mahasiswa, represifnya aparat bahkan dinamika di balik pintu istana.

Tayangan yang menyenangkan, menyegarkan, dan mengundang refleksi mendalam akan momen bersejarah negara tercinta. Dua puluh lima tahun reformasi berjalan, nampak tertatih-tatih, sempoyongan, dan jauh dari kata ideal. Nyawa perubahan yang menyala dua puluh lima tahun lalu nampak padam ditiup nafas kekuasaan. Ironisnya, mereka yang menyalakan dan memadamkan adalah orang yang sama. 

Cita-cita reformasi masih jauh dari angan-angan, tuntutan mahasiswa juga masih belum terlaksana, ada yang selesai seperempat jalan, ada juga yang dibekuk untuk tidak dituntaskan. Kini, aktor reformasi memilih jalan terjal melawan tuntutan, membungkam teriakan yang pernah mereka gaungkan, berebut kursi dan mendukung agenda kekuasaan yang mencederai misi suci reformasi.

Korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah kerja  abadi. Ndlogoknya, dengan adanya otonomi daerah, praktik klejingan semacam ini malah makin adil di berbagai tingkatan. Kalau kata Pak Butet di opini Kompas “Jika dulu korupsinya sentralistis, seperti dikendalikan godfather, biangnya koruptor yang bertakhta di pusat kekuasaan, setelah reformasi yang membuahkan otonomi daerah, korupsinya justru merata sampai wilayah terkecil Indonesia” Has jinguk tenan bosku.

Perubahan yang masih semenjana ini adalah akibat dari lemahnya menyiapkan pemimpin dan sistem negara, begitu kira-kira ucap Komjud, aktivis Jogja yang berpindah dari satu skena ke skena lain, dari satu warkop ke warkop lain. Glorifikasi berhasil menurunkan Soeharto menutup mata kita tentang ide besar cita-cita reformasi, fungsi pengawasan dan pengawalan luput kita pikirkan.

Kini, ditengah kejahatan dan kerusakan yang makin sistematis, jalan terbaik yang bisa dilakukan generasi z adalah cangkeman dan terus belajar. Beautifikasi peristiwa 98 sudah seharusnya diubah jadi gerakan intelektual, mengubah teriakan menjadi tulisan, menerjemahkan semangat perubahan dengan terus membaca dan membaca. Sudah waktunya muncul Bima-Bima baru dalam skena anak muda, melawan dan konsisiten cangkeman.

Bonus demografi hanya akan jadi ilusi yang berujung basi, mimpi tentang Indonesia Emas harus dilihat dari kacamata yang lebih luas, setiap agenda besar harus diteropong dengan kacamata global. Percuma kita punya banyak generasi muda tapi negara lain juga merasakan hal yang sama, kalau berjalan demikian, bonus demografi bukan lagi bonus demografi, ya hanya semacam peristiwa adu produktivitas antar negara.

Tapi, dibalik kegagalan reformasi yang masih seperempat abad ini, sa pribadi mau mengucapkan terima kasih kepada aktor reformasi, hatur nuhun kepada mahasiswa yang jadi mortir 98. Terima kasih abangku, rispek abangku, hanya terima kasih yang bisa sa persembahkan. Berkat kalian semua, negara kita akhirnya punya warna baru, generasi kami bisa bernafas bebas, ngomong sak njeplake, nyangkem sak senenge, meskipun masih ada UU ITE.