Kenapa Setelah Hari Buruh Disambut Hari Pendidikan?

Foto: AdjarDwija

Kata Guru dalam bahasa sansekerta secara etimologi berasal dari dua suku kata yaitu "Gu" artinya darkness dan "Ru" artinya light (wikipedia).  Dua hal yang berlawanan, cukup menarik untuk didiskusikan lebih dalam,  dua suku kata ini bisa kita  sederhanakan menjadi kiasan seperti gelap melawan terang/bercahaya/bersinar, kemuraman melawan keceriaan/kemahardikaan. Tentu menimbulkan banyak pertanyaan baru. Lantas? dimanakah posisi guru jika kita berkaca dari uraian diatas? melawan kegelapan atau malah mempertebal kemuraman?

Secara istilah guru atau pendidik adalah orang yang menunjukkan “cahaya terang” atau pengetahuan dan memusnahkan kebodohan atau kegelapan. Manusia secara alamiah pada mulanya adalah “gu” yaitu tidak berpengetahuan atau gelap. Bayi yang baru lahir adalah representasi kegelapan, ia tak memiliki pengetahuan apapun tentang realitas, bahasa yang bisa bayi lontarkan hanyalah tangis dan terus merengek untuk meluapkan apa yang ia rasakan. Kalaupun ada cerita bayi lahir dan langsung hafal pancasila, niscaya satu sepeda presiden terparkir rapi di depan teras rumahnya. 

Posisi "gu" atau gelap, sering disebut masih belum memiliki arah dan orientasi hidup. Setelah perjalanan panjang lalu mencicipi pendidikan, ia akan menjadi “ru” atau terang, bercahaya, bersinar,  karena disinari oleh pengetahuan yang ia peroleh. Proses transformasi dari “gu” ke “ru” atau gelap (awidya) menuju terang (widya), berjalan secara terus menerus tanpa henti, anak Jaksel menyebutnya long life education. Widya dalam hal ini dapat juga diartikan pengetahuan.

Lalu Kenapa Setelah Hari Buruh Disambut Hari Pendidikan?

Nah, memang cukup menggelitik bila dikaji. Bahwa buruh diidentikan dengan kaum fakir keilmuan. Namun tunggu dulu, hal itu mungkin terjadi jauh sebelum pendidikan menyentuhnya. Tapi setelah para angkatan kerja sudah mendapatkan pendidikan, apakah hal itu tetap masih ada? Kita bisa lihat bersama, kalau ada buruh demo, motornya seharga dua kali lipat sepeda motor guru honorer. La mau gimana lagi? wong gaji guru honorer  1/4 upah minimum kerja Madiun, itupun kalau dibayarkan tiap bulan.

Kita tunggu saja, adakah demo atau aksi simpati yang lainnya. Atau malah berterbangan kata-kata bijak tentang pendidikan yang katanya sarana pembebasan. Jadi ingat logo departemen pendidikan, kalau hari pendidikan diperingati. Ada mantra ajaib yang dipopulerkan oleh swargi Pak Suwardi, tepatnya ada tulisan Tut Wuri Handayani. Ketika di belakang mendorong untuk kemajuan, kurang lebih artinya seperti itu. Tentunya diawali dengan di depan memberi contoh, dan di tengah memompa semangat. Quote dan petuah dapat mengena ketika banyak yang menjalankanya. Tetapi, cukup basi ketika diucapkan sampai berbuih-buih.

Mari saling menguatkan, ketika yang diinginkan adalah menjadi pelopor bukan pengekor, menjadi pemikir bukan kaum "nyinyir". Maka, dosa orang yang tidak berpendidikan adalah dosa kaum intelek yang ada disekitar kaum tidak berpendidikan tersebut. Jadi, cukup pas apabila hari buruh disandingkan dengan hari pendidikan. Ketika diawali dengan bekerja, esoknya kitapun disambut dengan oase pendidikan. Agar kita tak menjadi budak dinegerinya sendiri. 

Lebih baik makan tempe tapi merdeka, dari pada makan bistik tapi tetap jadi babu. Selamat hari pendidikan bagi rekan-rekanku....

Penulis Adjar Putra Dewantoro, M.Pd