Komika Memang Lucu, Tapi Polisi Adalah Puncak Komedi!

foto: pixabay

Lapor polisi tidak akan menyelesaikan masalah, tapi malah menambah masalah. Setidaknya, itulah yang dirasakan oleh Azza, pemuda berusia 18 tahun yang mengamalkan dasa dharma pramuka dalam hidupnya, dia adalah sosok yang cinta alam, patriot yang sopan, pribadi yang cermat, dan insan yang bertaqwa. Azza adalah representasi anak muda yang ideal, postur tubuhnya tegap berisi, otaknya cerdas nggak ada lawan, dan yang paling penting, dia konsisten sholat 5 waktu di masjid. 

Sepeda polygon hitam miliknya adalah sepeda yang alim. Mendekati jam sholat wajib, lahan parkir Masjid Al-Furqon persisten dihiasi oleh sepeda hitam milik Azza, wanita mana yang rahimnya tidak bergetar melihat gerak-gerik produktif anak muda satu ini. Sepeda yang digunakan Azza untuk berangkat sembahyang adalah hadiah ulang tahun dari tante Grescya, adik dari bapak kandungnya. Kebiasaan positif yang dimiliki Azza, banyak dipengaruhi oleh keluarga besarnya, bapak’e guru agama bos. Ah, benar-benar wangun kehidupan pemuda 18 tahun ini.

Terdengar suara adzan magrib berkumandang, Azza bergegas mengayuh sepeda menuju Masjid Al- Furqon, jarak masjid dan rumahnya memang tak begitu jauh, kira-kira cuma 500 M. Sial! setelah menyelesaikan ibadah sholat magrib dan hendak pulang, Azza tak melihat sepeda hitamnya di parkiran masjid. Prasangka buruk Azza benar, sepedanya hilang dicuri, dengan tergopoh-gopoh dia melaporkan kehilangan ini kepada marbot masjid. Paginya, Azza melaporkan berita hilang ke kepolisian terdekat. Apakah masalah ini terselesaikan? tentu tidak!

Saat di kantor kepolisian, Azza malah pusing dengan beban administrasi yang rumit, mengisi form demi form yang tidak jelas fungsinya untuk apa, tapi begitulah prosedur yang harus dilakukan. Hari berganti tahun, tahun berganti bulan, bulan berganti pluto, dst, dst. Sepeda milik Azza tak kunjung ditemukan, tidak ada kabar lanjutan perihal berita kehilangan yang sudah dia laporkan, usaha yang muspro dan tidak membuahkan hasil. Tapi begitulah hidup, yang hilang belum tentu ditemukan, yang ditemukan belum tentu memberi kenyamanan, ea.

Begitulah gambaran kecil betapa absurdnya kepolisian, sudah ngisi prosedur yang rumit, eh yang hilang tetap tidak ditemukan, remok bos!. Kalau mau melihat absurditas yang lain, nggak usah jauh-jauh, tanya teman terdekat kalian yang pernah berurusan dengan polisi. Bisa dipastikan yang mereka ceritakan adalah kisah kocak nan menghibur, alih-alih kisah yang heroik, solutif, dan mendidik. Tapi begitulah negara tempat Azza tinggal, penjaga dan pengayom masyarakatnya jadi puncak kelucuan kontemporer.

Vonis Teddy Minahasa dan kasus Ferdy Sambo adalah kasta tertinggi absurditas polisi. Manusia yang teriak stop narkoba malah jualan narkoba, jadi beking bandar dan mendukung penyebarannya. Yang paling kencang teriak humanisme malah nembak anak buahnya, padahal kalau dibayangkan, untuk jadi jenderal itu bukan hal yang mudah, prosesnya panjang dan pasti melelahkan, tapi kok ndlogok njaran iso-isone nglakoni hal ra masok ning dunyoo iki. 

Apalagi Teddy Minahasa hanya dapet vonis hukuman seumur hidup, hukuman yang tidak pantas ia dapatkan, paling bener dia itu dihukum mati, proses hukumnya disiarkan langsung lewat tiktok, lumayan nanti ada yang gift singa dan es teh. Saya yakin, dengan relasi kuasa yang ia miliki, Teddy akan masih tetap berbisnis dan dihujani kemudahan. Salah satunya, fasilitas penjara yang sebelas dua belas dengan kos eksklusif mahasiswa Jogja. Ada water heater, kulkas mini, full AC, dan fasilitas ekslusif lainnya seperti vespa metic.

Polisi yang seperti Teddy ini mungkin masih banyak jumlahnya. Memainkan hukum, otak-atik kasus, suap kanan-kiri, menghentikan perkara yang merugikan dirinya, dan menjadi beking dari kejahatan skala besar. Visi polisi untuk mengayomi dan melindungi makin jauh dari harapan, yang ada malah makin ribet, seperti apa yang terjadi di kasus Azza. Makin pelik kalau udah berurusan dengan kepolisian, polisi gemoy dan memanusiakan manusia hanya bisa kalian dapatkan saat karnaval TK Ngadilengkung 02.

Polisi sudah gagal dari skena hirarki manapun, mulai dari pusat hingga daerah. Misi Polri presisi yang digaungkan akhir-akhir ini hanyalah bualan belaka, memoles keburukan dengan harapan. Jenderal tinggi perlu kerja keras untuk menjadikan polisi lebih menyenangkan, menghapus stigma arogan, represif, dan hal-hal ndlogok jaran yang merugikan nama institusi. Kalau nggak mampu merubahnya, biarkan polisi tidur yang bertindak.

Hanya polisi tidur yang legowo diinjak-injak oleh masyarakat sipil, tidak pernah mengeluh, apalagi menginjak mahasiswa dengan sepatu laras. Ikut arus dengan bikin vidio tik-tok jedag-jedug rimex adalah upaya yang paling relevan untuk mengubah wajah polisi, tapi ya bakal muspro kalau rekrutmennya masih pakai suap, kurikulumnya masih kuno, dan pengawasannya masih rentan. 

Perlu perubahan yang radikal dalam pendidikan Akademi Polisi. Tapi, kalau nggak dilakukan ya nggak papa, resikonya paling cuma bakal muncul Sambo baru dengan kasus yang makin keji, akan ada saja kejahatan yang muncul dan berkembang (criminal grow). Paradigma bahwa polisi adalah hal paling absurd  akan kekal abadi. Tolong sudahi kelucuan ini, biar komika saja yang lucu, kepolisian jangan. Mosok mangkat nonton dangdut, muleh-muleh meninggal kebedil polisi, kan ra masok to bos!