Madiun Bukan PKI, Kami Hanya Jadi Pusat Aksi!

foto: tempo

Madiun dan PKI itu bagaikan siang dan malam. Tidak terpisahkan, saat kita mengenalkan diri sebagai orang Madiun kepada orang non-Madiun, maka hanya akan ada dua kemungkinan, mereka mengenal Madiun lewat pecel atau stigma PKI. Ah, ini masalah yang menyedihkan, Madiun bukan hanya soal PKI dan Pecel, kadang juga pencak silat dan konfliknya, ups!.

Tentu peristiwa diatas pernah dialami oleh mereka yang nekat merantau, entah untuk belajar maupun bekerja. Reaksi orang luar terhadap Madiun memang itu-itu aja, sampai kita bisa maklum dan wajar atas tuduhan-tuduhan ra masok diatas. Sebagai orang yang pernah di cap cucu Muso. Jujur, ini perlu dilawan, kita perlu membaca kembali peristiwa PKI 1948.

Sebenarnya, sudah banyak upaya yang dilakukan untuk menghapus stigma Madiun sebagai kandang PKI. Masalahnya, doktrin bahwa Madiun PKI sudah mendarah daging, diyakini sebagai sebuah kebenaran mutlak. Mari kita ulas agar sedikit gamblang, Pemberontakan PKI Madiun terjadi 18 September 1948, tujuan utamanya  untuk menggulingkan pemerintahan yang dipimpin Sukarno, sekaligus mengganti landasan negara.

Singkatnya, Madiun dijadikan pusat aksi oleh Muso dan Amir Syarifudin untuk mendeklarasikan Republik Indonesia Soviet. Satu hari sebelumnya, pada 17 September 1948, Blora hingga Magetan diporak-porandakan oleh PKI. Lalu, pasukan bergerak ke arah timur, sehari setelah itu, puncak pemberontakan pecah di Madiun pada 18 September 1948 di Madiun.

Upaya lain yang dijalankan Pemerintah Kabupaten Madiun untuk menghapus stigma PKI ini beragam. Kaji Mbing (Bupati Madiun) seringkali menegaskan bahwa tidak ada tokoh PKI dari Kabupaten Madiun. Justru tokoh masyarakat dan agama dari Madiun yang jadi korban peristiwa kejam PKI 1948. Kaji Mbing juga persisten menjelaskan kepada publik, tokoh PKI yang menahkodai pemberontakan adalah Amir Syarifudin dan Muso, yang notabene jelas bukan orang Madiun.

PKI hanya menguasai Madiun selama 12 hari dan berhasil dipukul mundur oleh Pasukan Siliwangi bersama rakyat. Tanggal 30 September 1948, Madiun kembali dikuasai Pemerintah Indonesia. Intinya- inti, Madiun bukanlah bagian dari PKI, kami hanyalah korban yang daerahnya dijadikan pusat aksi. Pusat aksi!

Pemangku kebijakan juga tak tinggal diam, mereka terus men-sosialisasi-kan paradigma ini lewat upacara Hari Kesaktian Pancasila, branding Madiun Kampung Pesilat Indonesia juga jadi jalan untuk mengikis stigma negatif tentang peristiwa 48. Meski masih jauh dari kata ideal, upaya ini perlu terus dijalankan agar stigma negatif ini selesai.

Dalam beberapa kesempatan, Madiunpedia pernah membahas problematika ini bareng Pak Kaji Mbing, ada satu upaya struktural yang sudah dilakukan, mengumpulkan guru sejarah sekolah dasar dan memberikan pemahaman mendasar tentang perihal kelam ini, tujuan utamanya adalah menyamakan persepsi, agar tidak ada lagi guru sejarah yang keliru saat menyampaikan tragedi kelam PKI 1948. 

Jalan normatif semacam ini memang perlu dilakukan. Namun, akan lebih ideal jika dibarengi dengan cara populer, mau sampai kapan pola komunikasi publik kuno dipertahankan. Instrumen digital harus dilibatkan, agar edukasi tentang peristiwa 48 tak berhenti pada podium sambutan. Sudah waktunya menempuh jalur FYP, trending youtube, dan viralisme.