Madiun Selatan vs Madiun Utara

foto: madiunpedia

Kabupaten Madiun terbelah menjadi 4 bagian wilayah. Madiun Selatan, Madiun Utara, Madiun Timur dan Madiun Barat. Karena pembagian wilayah diatas, akhir-akhir ini muncul narasi bahwa pembangunan Kabupaten Madiun hanya berfokus pada satu titik: Madiun Utara, wilayah lain nampak tak digubris begitu masif. Alasannya sederhana, Kecamatan Mejayan dinilai sebagai daerah yang aset dan peluang pengembangannya punya prospek cerah. PP NO 52 tahun 2010 tentang pemindahan Ibu Kota Kabupaten Madiun dari wilayah Kota Madiun ke Wilayah Kecamatan Mejayan menjadi dasar masifnya pembangunan di Madiun Utara.

Namun, selain prioritas pembangunan yang nampak begitu jomplang, ada banyak hal yang membedakan Madiun Selatan dan Madiun Utara, kalau kita lihat lebih dalam, dua kutub Kabupaten Madiun ini punya banyak perbedaan. Selain timpang perihal pembangunan, Madsel dan Madut punya banyak perbedaan soal budaya,  Madiun Utara lebih bangga dengan dongkreknya, Madiun Selatan nampak tak begitu masif mempopulerkan budaya asli Kabupaten Madiun ini, masyarakat Madsel cenderung aktif memeriahkan acara kebudayaan dengan tarian Reog Ponorogo dan budaya lokal yang dewasa ini kita kenal dengan istilah Gembrung. 

Polariasi wilayah juga memunculkan spekulasi trikotomi Geertz tentang kebudayaan Jawa. Dalam studinya, Geertz mengemukakan fenomena Agama Jawa ke dalam tiga bagian: abangan, santri, dan priyayi. Disadari atau tidak? Madiun Selatan dan Madiun Utara mengalami fenomena yang sama seperti apa yang dijelaskan Geertz. Madiun Selatan dikenal dengan istilah kaum agamis, santri, dan priyayi karena banyaknya pondok pesantren yang berdiri. Sedangkan Madiun Utara, identik dengan jargon kaum abangan, karena culture masyarakatnya yang beragam.  Fenomena ini kalau disadari lebih dalam ada benarnya juga, tapi spekulasi ya sepekulasi, kebenarannya perlu diragukan dan dipertanyakan ulang.

Ditengah dikotomi wilayah utara dan selatan ini, ada 2 kutub lain yang mustahil untuk tidak dibahas, wilayah Madiun Timur dan Madiun Barat. Hemat penulis, masyarakat yang tinggal di daerah ini cenderung hidup dengan konsep moderat, tidak condong ke-utara maupun ke-selatan. Mayoritas masyarakatnya akan menghabiskan akhir pekan di Alun-Alun Kota Madiun. Jadi warga Madiun Tengah ini juga serba bingung, mau ke Alun Alun Mejayan jauh, mau ke Madiun Selatan juga bingung mau kemana, jika tidak ditanggapi dengan serius, bisa-bisa sebagian warga Wungu dan Jiwan memilih untuk jadi warga Kota Madiun. 

Kembali lagi ke dikotomi wilayah Madiun Selatan dan Utara, pembangunan trotoar ala malioboro di sepanjang Jl. Panglima Sudirman Mejayan, beautifikasi Masjid Quba, dan pembangunan Padepokan Kampung Pesilat adalah bukti mutlak bahwa fokus pembangunan Kabupaten Madiun berpihak untuk Madiun Utara.  Rasa- rasanya, jadi masyarakat Madiun Selatan hanya bisa menarik nafas panjang dan berkeluh kesah “Madiun selatan kapan dibangun ya fasilitas umum dan infrastruktur yang memadai ?” Kalau pembangunan Madiun Selatan kurang diperhatikan gini, tidak berlebihan jika warga Madsel mendeklarasikan diri untuk bergabung dengan Kabupaten Ponorogo, menunggu waktu saja agar pembelot-pembelot itu muncul.

Perbedaan budaya Madiun Selatan dan Madiun Utara makin dipertebal dengan adanya Kota Madiun, kenapa? anda kaget ya? ini serius pak!.  Selain disebabkan letak geografis yang berjauhan, adanya Kota Madiun ini menjadikan titik temu warga Kabupaten Madiun makin terkotak-kotakkan. Begini deh, kita cerita dulu tentang Kabupaten Ponorogo, masyarakat Ponorogo kenapa bisa begitu bangga dan bersatu dengan budaya reognya, ya karena tempat kumpul dan titik temu semua masyarakatnya tumplek blek jadi satu di Alun Alun Ponorogo. Madiun nih beda bosku, ada dua alun-alun. Sederhananya gini, masyarakat Kabupaten Madiun yang harusnya malam mingguan di Alun-Alun Mejayan, dengan adanya Alun-Alun Kota Madiun, pilihan untuk ke Mejayan akhirnya sedikit teralihkan. Persinggungan warga Madsel dan Madut akhirnya jarang  kita temui.