Perempuan dan Rahim Kebenaran

Perempuan dan Rahim Kebenaran

“Komisi Nasional (Komnas) perempuan mencatat sebanyak 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia, baik yang dilaporkan maupun ditangani sepanjang tahun 2017, angka yang paling tinggi terjadi di ranah private atau personal yaitu 335.062 kasus."

Salah satu kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan adalah kasus yang menimpa Agni, mahasiswa UGM yang mengalami pelecehan seksual di waktu KKN yang dilakukan teman posko sendiri. Kasus tersebut merupakan salah satu kasus kekerasan terhadap perempuan yang berhasil diungkap.

Seperti laki-laki, perempuan ialah benteng kokoh dari sebuah perjuangan.Individu yang menyatu menjadi masyarakat. Ia bukan rempah, hasil kekayaaan alam yang harus dimusiumkan dalam dapur. Bukan pula pakaian kotor yang diletakkan dekat sumur juga seprei yang dilekatkan pada kasur. Untuk mendefinisikannya, masyarakat harus paham persamaan dirinya dan makhuk lainnya, yakni makhluk ciptaan tuhan yang memiliki 3 kelebihan alamiah dibandingkan  lainnya. kekhasan dalam memperjuangkan kebenaran, keadilan dan eksistensi wanita sehingga mampu menghilangkan streotip wanita yang selalu berada dalam kekuasaan laki-laki

Ia adalah makhluk yang menyuplai makanan tanpa takut dimonopoli. Ia adalah makhluk yang memerdekakan individu  dari sebuah ruang kecil, rahim. Ia adalah makhluk yang kian dinikmati air susunya tanpa merasa tereksploitasi. Dalam ketulusannya, lahir naluri untuk melindungi dan merawat individu dari setetes darah hingga menjadi seonggok daging yang mampu membaca, berdiskusi, dan aksi. Ialah sang  pemilik rahim perjuangan.

Secara biologis, perempuan diciptakan dengan memiliki rahim yang mampu menyimpan manusia didalamnya. Selama puluhan tahun, ia menutrisi kebutuhan anak-anaknya mulai dari dalam kandungan hingga luar kandungan.

Namun, kamampuan seorang perempuan cenderung dipandang sebelah mata, dan menganggap ia hanyalah manusia ‘lemah’ dari masyarakat yang selalu genting bantuan meski untuk dirinya sendiri, sekalipun ia mampu.

Disinilah, kesetaraan harusnya dijunjung tinggi oleh manusia, memandirikan laki-laki juga perempuan pun sangat diperlukan, membangun rasa saling menghargai antara laki-laki dan perempuan, bukan saling merendahkan satu sama lain dan saling melemparkan istilah kata ‘lemah’ dan lain sebagainya yang cenderung dilontarkan pada perempuan.

Mengutip kata Ir. Soekarno dalam buku Sarinah (Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia). bahwa jika saja konsep berperang adalah laki-laki rela mati di medan perang, maka perempuan adalah setiap hari rela mati demi melahirkan seorang anak. Tak cukup dengan hal demikian jika merendahkan seorang perempuan, tentunya akan merendahkan diri sendiri yang lahir dari kaum yang dijuluki ‘lemah’ tersebut. Bukankah masyarakat terbentuk dari kumpulan individu? dan individu penyusun masyarakat tersebut dilahirkan oleh seorang perempuan?

Sayangnya, disamping banyaknya masalah yang menimpa kaum perempuan, mayoritas masyarakat Indonesia juga masih memandang perempuan sebagai manusia kedua setelah laki-laki. Begitu memprihatinkannya kaum perempuan yang terkadang sebagian haknya bergantung pada laki-laki, seperti masalah pekerjaan ketika telah menikah. Cenderung suami akan bekerja di luar rumah seperti perusahaan atau lainnya, sedangkan istri  bekerja dalam rumah, sesekali diluar rumah ketika suaminya sedang sakit, itupun dengan syarat bahwa sang suami harus mengizinkannya terlebih dahulu, artinya apa?

Bahwa sebagian hak perempuan ada di ujung lidah laki-laki. Tak hanya hak untuk bekerja, bahkan hak untuk menduduki kursi pendidikan formal pun, perempuan harus dihadapkan denganwarning oleh masyarakat, ‘pendidikan perempuan jangan terlalu tinggi, takutnya tidak ada laki-laki yang lamar’, khususnya perempuan yang mengecap bangku perkuliahan akrab dengan kalimat tersebut. Apakah perempuan terlahir dengan ujung pilihan pendidikan dan pasangan hidup ?


Penulis : Raimundus Mere Hera // Ketua PMKRI Cabang Madiun