Ali Moertopo, Soeharto, dan The Next Presiden

foto: deutsche welle

“I`ll be the Next President!” Pernyataan yang fenomenal menjelang kampanye pemilihan umum (Pemilu) 1971. Kalimat itu keluar dari lisan seorang Letnan Jenderal TNI (purn) Ali Moertopo, teriakan itu ia lontarkan saat menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI. Menilik dari kalimat yang diucapkan, timbul sebuah pertanyaan. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh Letjend Ali?

Ali Moertopo merupakan anak dari seorang mantri alas dan seorang ibu pedagang batik. Ali (panggilan akrab Ali Moeropo) lahir di Blora, 23 September 1924. Karena ia lahir dari keluarga sederhana, Ali tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi. 

Saat era Belanda, Ali pernah mengenyam pendidikan di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setingkat SMP saat ini. Pada zaman Jepang menguasai tanah air, Ali ikut sekolah membuat keramik di Bandung. Dari perjalanan panjang inilah ia mampu menjadi tokoh besar di Era Orde Baru (Orba).

Akrab Dengan The Smiling General

Keahlian yang dimiliki Ali dalam operasi intelijen membuatnya dekat dengan penguasa Orba (Soeharto). Pasca proklamasi, Ali sering terlibat dalam operasi militer. Sosoknya pernah “menimba” ilmu dari seorang jenderal yang sangat disegani kala itu, Ali belajar dengan Jenderal Ahmad Yani saat ia masih bergabung di Badang Keamanan rakyat (BKR). Ia juga pernah mengikuti operasi penumpasan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Pemberontakan PRRI kala itu dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara dan Tan Malaka, beserta seluruh kawan-kawan setia mereka.

Relasi antara Ali Moertopo dengan Seoharto bermula saat Ali bertugas di Devisi Diponegoro (yang saat ini menjadi Komando Daerah Militer) Jawa Tengah. Saat itu, Soeharto didaulat menjadi panglima dan Ali sebagai pasukan. Tersiar kabar bahwa naiknya jabatan Soeharto menjadi Pangdam (Panglima Daerah Militer) berkat kerja sama Ali Moertopo dengan Yoga Sugama dan Soedjono Hoemardani. Sebagai imbalannya, Ali diberi jabatan di Deputi Asisten V urusan teritorial.

Tahun 1961, Ali Moertopo kembali bertemu dengan Soeharto. Ali juga membantu Soeharto yang terpilih menjadi Panglima Komando Mandala. Operasi itu merupakan suatu operasi dalam upaya merebut Irian Barat (saat ini menjadi Papua). Tahun 1969, Ali Moertopo diangkat menjadi Komandan Operasi Khusus (Opsus) di Irian Jaya. Kesuksesan Ali Moertopo di Irian Barat membuatnya diamanahi untuk melakukan tugas di perbatasan Indonesia-Malaysia. Operasi itu diterimanya saat masa konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia di era Presiden Soekarno. Namun, tugas ini tidak diemban dalam waktu yang lama.

Keberhasilan “Mengatur” Pemilu 1971

Ketika masa Orde Lama tumbang dan digantikan dengan rezim Orde Baru, hal yang pertama kali dilakukan pemerintah adalah menstabilkan kehidupan politik. Upaya yang pertama kali dilakukan adalah menyelenggarakan pemilu tahun 1971. Dengan berbagai manuver, terpilihlah Golkar sebagai pemenang. Ali Moertopo berhasil mendudukkan orang-orang yang pro-Soeharto untuk menjabat sebagai petinggi di dalam organisasinya masing-masing. Partai politik terbesar kala itu, PNI (Partai Nasional Indonesia) dan Partai NU (Nahdlatul Ulama) dibuat tak berkutik. 

Ali juga dapat “menjinakkan” insan pers untuk bersedia tunduk terhadap pemerintah. Ali membentuk organisasi PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) untuk menghegemoni wartawan dan tunduk pada pemerintah. Hal ini menyebabkan PWI terpecah menjadi 2 golongan, yaitu PWI pimpinan B.M Diah (pro pemerintah) dengan PWI pimpinan Rosihan Anwar (oposisi pemerintah).

Terkait Isu Kristenisasi dan CSIS

Setelah selesainya masa pemilu, isu tentang Ali Moertopo tidak juga reda. Salah satu isu yang berkembang kala itu adalah adanya RUU perkawinan. Ada penolakan dari golongan Islam tentang terbitnya RUU Perkawinan, mereka menilai hal ini tidak sesuai dengan syari’at, Ali Moertopo diduga terlibat aktif dalam perancangan RUU Perkawinan. Hal ini diamini oleh Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban) Soemitro.

Kala itu, muncul kabar bahwasanya CSIS (Centre for Strategic and International Studies) merupakan lembaga yang berisi kader dari Pater Beek, seorang pastur asal Belanda yang menjadi agen Black Pope di Indonesia. Walaupun hal ini tidak jelas, tampaknya ada kecurigaan dari Soemitro dan pejabat militer lain bahwa Ali Moertopo telah menjadi agen pendukung kegiatan kristenisasi di Indonesia. Namun sayangnya, tidak ada cerita yang jelas dari Ali Moertopo mengenai hal ini. 

Persaingan antara Ali Moertopo dengan Soemitro mulai mencuat sejak tahun 1971. Perang dingin ini dipicu oleh adanya kebencian dari Soemitro terhadap gerakan yang dilakukan  Ali Moertopo. Di samping itu, konflik ini juga ditengarahi dari jabatan Ali Moertopo sebagai Kepala Opsus dengan Soemitro sebagai Pangkopkamtib. Adanya gesekan antara kedua tokoh ini menimbulkan kesan “perang” antara Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara), Kopkamtib (Komando Kemanan dan Ketertiban), dan Opsus (Operasi Khusus).

Soemitro mencegah Ali menjadi kepala Bakin, tetapi mengusulkan kepada Presiden Soeharto untuk mengangkat Ali menjadi Menteri Penerangan. Usulan itu dengan tegas ditolak oleh Ali. Masa itu memang menjadi masa yang penuh kecurigaan. Digoyangkannya kursi kekuasaan Soeharto menimbulkan munculnya berbagai spekulasi tentang siapa yang akan menggantikan Soeharto menjadi presiden.

Ali Moertopo menghadapi hambatan dari Soemitro untuk menduduki jabatan presiden. Maka timbullah ungkapan fenomenal dari Ali Moertopo, “I`ll be the Next President!”. Namun, ungkapan itu dibalas Soemitro dengan, “Wajar ia bercita-cita demikian.”


Penulis:  MIFTAKHU ALFI SA'IDIN (Kader IPNU Ponorogo dan Mahasiswa IAIN Ponorogo)