Kami Tidak Butuh Forum Pemuda Madiun!


Bahagia betul saat mendengar kabar akan diadakannya pendidikan dan pelatihan pemuda Kabupaten Madiun, mengusung tema yang adiluhung dan nampak jauh dari masyarakat awam. “Abraca Nawasena” akronim dari kata “ayo apik bareng cah” dan bahasa sansekerta Nawasena yang artinya “masa depan yang cerah”. Tema ini mutlak membawa visi suci agar pemuda Madiun mampu bangkit dan berbuat baik guna menjawab tantangan zaman yang unpredictable.

Dalam Term Of Reference, tertulis beban moral anak muda yang kiranya bosan kita dengar, seperti agen of change, pendobrak perubahan, aktor pergerakan, dst, dst. Tidak lupa mengutip adagium yang tak pernah usang oleh zaman “beri aku sepuluh muda maka akan ku guncangkan dunia” pepatah dari Ir. Soekarno yang tertancap hebat dalam benak pemuda Indonesia. Barangkali sepuluh muda sudah tidak relevan, Indonesia modern hanya butuh Mario Dandy untuk mengguncang bangsa 270 juta jiwa.

Semangat kebangkitan pemuda semacam ini harus kita sambut dengan nada optimis, upaya pembangunan dan pemberdayaan adalah modal konkrit untuk melawan tantangan sosial yang makin kesini makin menakutkan. Pendidikan dan pelatihan kepada pemuda juga harus dilihat dari kacamata positivistik, tegas dan pasti melahirkan sumber daya pemuda yang memiliki value, penuh kesadaran, dan sesekali mageran. Males rapopo bos, urip semangat terus nguber opo?

Tantangan Yang Sulit Diprediksi

Kiprah sumpah pemuda yang akan memasuki satu abad ini benar-benar membawa Indonesia pada perjalanan kebangsaan yang mengagumkan, anak muda nampak bersolek dengan kapabilitas yang mereka miliki. Kemajuan teknologi yang disruptif, mampu mendobrak hal lama yang konservatif dan melahirkan gaya hidup baru yang berorientasi pada pragmatisme: hidup praktis, sat-set, dan terus berubah.

2045 nampak menjerit, angkanya selalu terbebani dengan misi Indonesia emas. Khayalan romansa tentang bangsa yang maju, berdaya, dan arif dalam banyak hal, diobral dari satu seminar ke seminar lain, diucapkan hingga berbusa dari satu kampus ke kampus lain, ditulis oleh media sampai mural pinggiran kota. Indonesia emas ini nampaknya bakal jadi distopia, khayalan yang segala sesuatunya berakhir buruk dan tidak asoy

Sebagai bangsa yang besar, Indonesia diterpa banyak sekali problematika, baik masalah remeh temeh hingga tantangan yang sulit diprediksi. Sebut saja kecerdasan buatan, bangsa besar ini selalu gagap soal regulasi, akan dipikirkan jika sudah menimbulkan korban atau dampak sosial yang menakutkan. Bangsa ini nampak tidak pernah serius menanggapi pola modernisasi yang disruptif, kok bisa? menterimu korupsi kae lo bos!

Begitu juga daerah, mereka punya tantangan yang sampai sekarang hanya diselesaikan lewat panggung-panggung sambutan, pidato rekonsiliasi, rapat bulanan yang nirfaedah, dan solusi basi yang terus diromantisasi. Sebenarnya, problematika yang dihadapi itu-itu aja, masalah tahunan yang tak kunjung selesai, bagaimana mau selesai kalau masalahnya dihadapi dengan pendekatan ramasok dan ramasok. Tentu saya tidak sedang membicarakan Madiun, saya hanya membicarakan si paling kampung pesilat. Wkwkwk.

Layunya Literasi Pemuda Madiun

Maudy Ayunda dalam podcast End Game bareng Pak Gita Wirjawan menyampaikan bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang gigih memperhatikan budaya literasi, mahasiswa dipaksa untuk membaca buku agar kelas penuh dengan argumentasi akademik, bukan hanya bualan belaka yang sering dibalut dengan retorika. Pointnya, literasi adalah pijakan dasar untuk melihat arah, tantangan, dan kemampuan suatu bangsa membaca peluang.

Kita tidak perlu membual lagi betapa pentingnya literasi untuk membangun peradaban, mari kita sadari bersama bahwa dunia literasi Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja, beberapa toko buku tutup, ini adalah bukti betapa abainya kita dengan literasi. Bangsa besar ini memang tak pernah serius menggarap budaya dan etika literasi, banyak buku bajakan, karya ilmiah jadi sampah perpustakan, dst, dst. Lalu bagaimana kondisi literasi Madiun? saya jujur tidak tahu sekarang, tapi kalau dulu sangat lumayan tidak baik (baca:jelek).

Bisa dikatakan literasi Madiun sedang layu atau bahkan mati suri, gedung baru tak menjamin bahwa minat baca anak muda akan meningkat tiap tahunnya. Meski perpustakaan daerah Kabupaten Madiun makin representatif dan penuh dengan fasilitas baru, ada satu hal yang barangkali luput untuk dibicarakan. Bahwa, budaya literasi tak cukup hanya dibangun dengan gedung tinggi, tapi butuh persistensi dalam menjaga keberadaannya. Dengan apa? ya jangan tanya saya, tanya yang digaji to bos. Lagian warga Madiun selatan yo kadohan yen arep ning perpusda.

Ya, berdoa saja dengan adanya Forum Pemuda Madiun ini mampu membawa cahaya perubahan dalam skena literasi Madiun, selain meningkatkan kemampuan dan kepekaan pemuda terhadap pembangunan sekitar, budaya literasi memang benar-benar harus dipikirkan. Siapa yang memikirkan? sekali lagi jangan tanya saya, wong saya ini ngga digaji, tanya sama mereka yang punya hak dan kewenangan untuk menuntaskan matinya literasi Madiun.

Pemuda VS Pemerintah

Tidak bisa berharap lebih dengan dinas yang menamai dirinya pemuda tapi masih mempertahankan mindset tua, yang melihat anak muda dengan nada skeptis, memandang generasi z dengan cuitan anak kemarin sore yang tak punya kapabilitas mumpuni dalam kehidupan. Semoga saja hal diatas tidak sedang terjadi di Kabupaten Madiun, tapi kalau sikap yang demikian sedang menghantui anak muda Madiun dan menggerogoti hati pejabatnya, maka saatnya katakan “turu wae ra resiko”

Pemuda dan Pemerintah ini nampak seperti dikotomi yang sulit untuk bersatu, integrasi - interkoneksi anak muda dengan pejabat pemerintah adalah hal yang nisbi mustahil untuk terwujud, pemuda sibuk dengan beban study dan overthinking berkepanjangan, pejabat juga disibukkan dengan beban administrasi birokrasi yang subhanallah ribet. Akui saja, kalau bapak-bapak yang sekarang berkuasa itu ndak ada waktu untuk mikir inovasi, tenaganya terkuras untuk beban kerja administratif dan urusan kantor yang adiluhung itu.

Anak muda Madiun nampaknya sudah bosan dengan janji-janji yang dilontarkan oleh pejabat publiknya, suara yang memberi harapan untuk difasilitasi, diintegrasikan dengan organisasi perangkat daerah, dan bualan basi sinergitas antar stakeholder. Hal-hal semacam ini sudah waktunya dimaknai dengan senyuman, cangkeman, dan rasan-rasan. Tak usah berharap lebih dengan pejabat publik yang fix mindset, atau mereka yang pola pikirnya tidak mau berubah.

Namun, cahaya sinergitas itu nampaknya muncul kembali. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Kabupaten Madiun dilantik di Pendopo Ronggo Djoemeno, Forum Pemuda Madiun tergerak melangsungkan focus group discussion yang sampai artikel ini ditulis, hasilnya masih belum bisa diakses oleh publik. Dengan agak berat hati, tanpa tendensi fafifu wasweswos, mbok nyuwun tulung nggawe instagram, bagaimana narasi kemajuan bisa disosialisasikan kalau medianya saja ndak ada.