Omong Kosong Keterwakilan Anak Muda di Partai Politik!

foto: kaltimtoday.co

Manik Marganamahendra, purna Presiden Mahasiswa Universitas Indonesia, aktivis muda yang menggelora, ya meskipun partainya perindo. Sosoknya pernah menjadi perhatian publik,  keberaniannya untuk  mengatakan bahwa DPR adalah Dewan Pengkhianat Rakyat, menjadikan namanya ramai diperbincangkan masyarakat, pernyataan menohok yang lahir sebagai bentuk penolakan atas RUU KUHP dan revisi UU KPK.

Namanya kembali ramai pasca mendeklarasikan diri sebagai bakal calon legislatif DPRD DKI Jakarta. Manik mencalonkan diri sebagai bacaleg Partai Perindo untuk  kontestasi pemilu 2024. “Saya ingin menjawab dan meminta doa serta dukungan teman-teman: Saya akan maju di Pemilu 2024, mencalonkan diri sebagai bacaleg DPRD DKI Jakarta dari @partaiperindo” tegas Manik.

Keputusannya untuk masuk sistem menuai banyak perdebatan. Dianggap menelan ludah sendiri, aktivis yang mulai kehilangan idealisme, dan tuduhan menyedihkan karena melibatkan masalah keluarga. Pilihan Manik untuk berjuang dari dalam, memantik Pranadya Wicaksana dari kolektif Against Authoritarianism untuk melayangkan undangan debat, tujuannya  menguji seberapa kuat argumen Manik saat berupaya untuk merubah sistem dari dalam.

Tentu perdebatan dikotomi semacam ini hanya akan memperdebatkan probabilitas bisa tidaknya aktivis mengubah sistem lewat parlemen. Melalui partai politik yang sudah secara sah dalam undang-undang, Manik menegaskan bahwa perubahan ini harus diawali dengan membentuk ekosistem politik yang solid guna mengubah status quo. Kegagalan aktivis yang masuk ke dalam sistem disinyalir karena kurangnya kuantias person. Jumlah yang banyak mampu menyeimbangkan gagasan reformis untuk masuk ke dalam parlemen, tegas Manik.

Namun, ada satu hal yang sangat disayangkan, kita tidak pernah punya basis sosial (ekosistem) yang kuat dan benar-benar punya keinginan politik untuk menentang status quo. Akhirnya, aktivis yang masuk parlemen akan terserap  dan ikut arus dengan hal yang berseberangan dengan tujuan awal, sanggah Pranandya. Narasi semacam ini mengajak kita untuk melihat kembali problematika masyarakat sipil secara fundamental, gerakan progresif yang ada dalam masyarakat kini, acapkali hanya berfokus pada kontestasi eksekutif ketimbang legislatif, capres-cawapres bukan legislatif yang mengawasi kerja eksekutif.

Lalu apakah bisa aktivis mewakili konstituen agar progresif  saat di dalam, sedangkan civil society kita belum koheren, banyak pemimpin besar yang membangun basis sosial pergerakan yang solid dulu sebelum masuk dalam sistem, apalagi sekarang ada tendensi bahwa public policy tidak harus dipolitisasi, dst, dst. Merubah dari dalam ini jadi makin sulit dalam praktiknya, sejarah aktivisme yang masuk di dalam juga jauh panggang dari api. 

Tentu seorang Manik pernah membangun gerakan sosial yang cukup masif, baik demo reformasi dikorupsi hingga gerakan edukasi  (extra parlementer) sebelum masuk ke dalam sistem. Namun, gerakan semacam ini tidak solid di Indonesia, akhirnya kita hanya mewakilkan orang baik tanpa dukungan yang solid, sedangkan musuh kita (oligarki) makin sistematis dan kuat, hal yang demikian harus dilawan dengan gerakan yang sistematis di masyarakat sipil juga.

Sistem yang ingin dijalankan Manik adalah melawan sistem dengan membangun ekosistem. Jika gerakan extra parlementer tidak bisa melawan status quo, maka masuk sistem jadi masuk akal untuk membentuk ekosistem yang sehat. Tindak lanjut dari gerakan yang sudah dilakukan adalah membentuk kekuatan baru di dalam parlemen, civil society sudah cukup solid dalam beberapa hal, hal ini perlu kita sinambungkan dengan representatif kita yang berintegritas di dalam sistem.

Tujuan yang disampaikan Manik menjadi mustahil diwujudkan karena tidak ada pendidikan politik yang solid dari gerakan masyarakat, konstituen tidak memilikii pengetahuan politik yang mengagumkan. Masyarakat Indonesia memang memiliki fanatisme politik yang cukup tinggi,  tapi tidak dibarengi dengan pengetahuan yang mumpuni. Kalau begini, perubahan yang ingin diwujudkan harusnya direbut bukan dilakukan dengan kompromi seperti yang dibicarakan Manik.

Lantas gimana cara kita merebut jika tidak masuk dengan sistem? contoh keberhasilan reformis yang ada di negara lain juga melawan dari dalam, tegas Manik. Jika oligarki mengkooptasi media, mengkooptasi parpol, harusnya sipil juga bisa mengkooptasi parpol agar berintegritas dan progresif untuk kepentingan masyarakat. 

Tapi kita butuh tantangan untuk melawan sistem yang sudah ada saat ini, Budiman Sudjatmiko nampak kehilangan taji politiknya  karena gagal dalam menciptakan tantangan untuk sistem, tegas Pradnya. Maka, merebutnya adalah dengan membuat kekuatan yang solid, bukan berkompromi dari dalam, bisa kita lakukan dengan menciptakan parpol yang berintegritas dan melawannya dengan tantangan-tantangan baru.

Sekarang, gerakan mahasiswa yang kita anggap sebagai penyambung lidah rakyat juga sedang mengalami irelevansi yang cukup tinggi, mereka apolitis dan reaksioner, lanjut Pradnya sebagai refleksi. Seakan-akan gerakan sekarang cuma meminta kepada government agar tidak jahat, tolong jangan jahat dong, kasihan masyarakat, dan selebihnya hanya mengharap belas kasihan government.

Kenapa Perindo?

Manik menegaskan karena ia dapat kesempatan dari Perindo dan Perindo belum pernah mencicipi kursi parlemen. Artinya, partai ini bisa diwarnai dengan nafas perjuangan , ide gagasan, dan progresifitas Manik sebagai bacaleg. Perindo hanyalah sebuah jalan, yang lebih penting dari itu semua adalah membangun ekosistem politik yang solid dan sehat. 

Lalu, apakah Manik bisa memupuk idealismenya di Perindo, atau malah ikut arus?

Tentu kalau bisa mempertahankan idealisme kenapa tidak? keberpihakan saya adalah mewakili dan membawa advokasi  yang sudah dikerjakan selama ini, jawab Manik. Fokus kedepannya adalah pengawasan regulasi dan sistem anggaran.