Saya Menyesal Karena Mendengar dan Melakoni Bualan "Anak Muda Harus Melek Politik"

furerhugi.ch

Pemilu 2024 adalah pesta demokrasi yang dipenuhi oleh pemilih muda, atau mereka yang usianya dibawah 40 tahun. Hal ini tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang diumumkan oleh KPU. Setidaknya ada 204,8 juta konstituen yang akan berpesta ria, 56% dari golongan muda, generasi z dan generasi millenial. Kondisi ini menjadikan pemilu 2024 sangat ditentukan oleh suara muda, suara yang selama ini hanya jadi gulali politik.

Akui saja, anak muda dalam partai politik hanyalah gulali, untuk manis-manisan parpol, akal-akalan partai agar konstituen muda memilih benderanya. Anak muda yang ada dalam partai politik tak lebih dari mas-mas idealis yang fafifu wasweswos, paripurna soal ide dan solusi, tapi mentah perihal daya tawar. Dan memang beginilah yang sedang terjadi, bahkan bisa lebih buruk jika anak muda yang tergabung dalam partai politik hanyalah "bocah" titipan dari dinasti satu genealogi.

Ada banyak hal yang menjadikan kenapa anak muda hanyalah pasar politik, terus menjadi komoditas pemilu yang seksi, dan konstituen yang sebenarnya biasa saja. Jawabannya cukup sederhana, karena anak muda tak pernah solid dan dunia politik yang kelewat kotor. Partai yang menamai dirinya dengan embel-embel solid saja nyatanya sulit untuk solid, partai ini juga sering teriak dengan tagline partainya anak muda, nyatanya, mereka tak muda-muda juga, wkwkwk.

Setidaknya ada dua faktor kenapa anak muda dalam regenerasi politik hanyalah bualan belaka: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi ketidaksadaran anak muda akan pentingnya politik, ketidakmauan anak muda untuk belajar politik, mereka membatasi diri atau bahkan memasang tembok tebal untuk tidak terlibat dalam prosesnya. Inilah fakta yang sedang terjadi, gelombang apatisme anak muda terhadap politik, mereka bodo amat dengan politik, tapi saat ada public policy yang kurang membahagiakan, mereka juga yang teriak paling kencang, dan inilah lingkaran setan demokrasi Indonesia.

Faktor eksternal meliputi ketidakmampuan partai politik dalam meregenerasi kader, stigma usang politik yang tak kunjung hilang, dan cengkraman kemapanan mereka yang sudah terlibat di dalam. Minimnya regenerasi parpol di Indonesia ini tercermin dalam data EIUDI 2022. Hasil risetnya menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan ke-101 dari 147 negara dalam hal regenerasi politik. Rata-rata anggota parlemen yang sekarang menjabat dan sesekali main candy crush di Indonesia berusia 51,6 tahun. Sungguh usia yang matang dan memang waktunya main candy crush.

Sekolah kader partai di Indonesia juga nampak terlalu ekslusif, atau memang seharusnya demikian, ah saya nggak tahu juga. Yang saya rasakan, sekolah kader partai hanya untuk mereka yang punya privilege, kenal dengan petinggi, atau anak dari dewan yang tahtanya sudah mapan. Kualitas pengkaderan yang sudah berjalan juga perlu kita tanyakan, jika kepedulian partai politik kepada anak muda adalah prioritas, harusnya kita nggak berada di urutan 101 dalam indeks regenerasi partai politik dwong?

Stigma politik yang kelewat kotor, jahat, dan ruwet, ini yang banyak dirasakan anak muda, apalagi yang apatis dengan politik. Pandji Pragiwaksono pernah bilang, kalau masuk politik itu layaknya masuk septictank, semuanya tai, nengok kanan tai, nengok kiri tai, ah tai. Bahkan saat kita jadi lele yang punya gagasan brilian dalam politik, ya kita akan jadi lele yang dikerumuni tai, gagasan cemerlang bakal rontok dengan bau tai, dan apapun yang dilakukan lele dalam septictank bakal kalah dengan kehendak tai. Sungguh analogi yang tai, wkwkwkwk. Dan tak pernah ada parpol yang serius untuk menggeser stigma buruk tentang politik.

Regenerasi politik terjebak dengan poltik turun temurun (dinasti politik), hal yang demikian masif terjadi di Indonesia, bahkan lingkup istana. Tapi orang tua mana yang nggak kepengen anaknya bahagia, hidup mudah, dan punya kuasa. Ego semacam ini musti ada dalam benak orang tua yang hidupnya penuh dengan kemudahan, punya asisten pribadi, tunjangan berlimpah, hidup mewah, dlsb. Kemapanan yang asoy ini ya musti diwariskan ke anak cucunya dong, kok rasa-rasanya mustahil rela diwariskan kepada orang lain.

Anak muda sedang berada dalam ruang sempit untuk terlibat dalam politik, aksesnya terbatas, manajemen kaderisasi partai masih kacau. Sungguh fenomena asu yang membahagiakan, senior melihat junior dengan kematangan politik lemah, junior melihat senior dengan arogansi politic yang berlimpah. Perlu upaya kreatif untuk menepis regenerasi parpol yang buruk dan tersungkur ini, salah satunya ya memperbanyak ruang politik bagi kaum muda, memberikan akses dan mengajak anak muda dalam kaderisasi parpol yang sehat, yang demokratis dan jauh dari nada senioritas.

Geza Bayu Santoso