Kegiatan Masyarakat Madiun: 8 Jam Kerja, 8 Jam Istirahat, 8 Jam Mendengarkan Gilga

foto: amberlind.eu.org

Sebenarnya, saya bingung harus menulis ini atau tidak. Saya cuma takut kalau tiba-tiba rumah saya digeruduk masyarakat. Hahaha. Tulisan ini murni hasil pengamatan saya sendiri, pendapat saya sendiri, dan keresahan saya sendiri. Jadi, semisal ada yang tidak setuju atau menentang isi dari tulisan ini, sangat dipersilahkan. Paragraf ini tampak sangat menggambarkan seorang penulis yang takut digeruduk. 

Baik, saya akan mulai dari judul. Apakah ada yang sepakat dengan saya? Karena jujur, hampir di seluruh penjuru Madiun, sekarang sedang mendengarkan lantunan dari penyanyi bernama Gilga. Seorang penyanyi pop-dangdut asal Madiun yang terkenal dengan tembang Nemen dan Nemu. Sosok yang  sedang dipuja-puja sebagian orang di kampung halamannya sendiri. Mungkin, kalau dulu Madiun jadi merdeka sendiri, Gilga inilah yang nantinya akan membuat lagu kebangsaan Madiun. Hahaha.

Awalnya saya kaget dengan fenomena ini karena sebelumnya tidak pernah terjadi. Siapa orang Madiun yang sudah punya karya, terkenal, dan digandrungi penduduk lokal? Ada Nopek Novian dan Gilga. Sebenarnya banyak sekali anak muda di Madiun yang berkarya, masalahnya adalah ketidakketernalan itu yang membuat mereka gagal digandrungi penduduk lokal.

Menggerus Idealisme

Banyak anak muda di Madiun yang berkeluhkesah tentang hal tersebut. Mereka merasa sudah berkarya, namun tak kunjung menemukan jalannya. Kalau mau belajar dari Gilga, ya bisa saja melakukan pencapaian yang sama. Bukannya saya tidak suka Gilga yang sekarang, tapi dulu setahu saya Gilga sudah sering nembang, tapi bukan di ranah pop-dangdut. Hal tersebut menjadi bukti bahwa kalau mau terkenal, harus menggerus idealisme dan mengikuti arus yang sedang menjadi ombak tren besar saat ini. 

Timbul pertanyaan, apakah masih mau tetap menerjang dengan idealisme yang dimiliki atau ikut terjun ke arus yang sudah besar?

Menurut saya, sebenarnya hal-hal seperti ini tidak sepenuhnya salah masyarakat. Kenapa? Karena menurut saya masyarakat di sini memang benar-benar awam dengan hal-hal di luar pengetahuan mereka. Harusnya, kalau sudah lama hidup di Madiun, pasti tahu karakteristiknya. Yap, betul, apatis. Masyarakat di Madiun, mohon maaf, memang apatis dengan hal-hal baru. Hal-hal baru tersebut harus viral terlebih dahulu, baru diwajarkan. Contohnya? Cari sendiri, saya malas menjelaskan lagi. Hehehe.

Tidak hanya itu, masyarakat Madiun ini juga merupakan salah satu kelompok masyarakat yang melakukan sesuatu dengan mengikuti tren saja. Sudah banyak tren-tren yang pernah saya lalui, yang sekarang sudah tidak meledak seperti dulu lagi. MLFR, foto-foto urbex, dan lain sebagainya. Bisa dibilang, masyarakat Madiun itu FOMO.

Dan menurut saya, hal itu juga terjadi di skena pop-dangdut ini. Setelah tetangga sebelah muncul seorang penembang bernama Denny Caknan, Madiun seakan-akan tidak mau kalah. Gilga adalah salah satunya yang sepertinya untuk saat ini dielu-elukan penduduk lokal. Sebelum Gilga, ada Lek Dahlan dengan lagu Los Dol-nya, penyair dan pencipta lagu dari Kebonsari, Madiun.

Bukan berarti saya mendoakan Gilga segera tenggelam. Bukan. Saya cuma takut kalau nantinya, ketika api Gilga makin sering tergerus hujan, penduduk lokal ini akhirnya meninggalnya begitu saja. Itu yang saya takutkan karena saya sendiri sudah pernah mengalaminya. Penduduk lokal cuma mau mengapresiasi ketika sesuatu yang entah siapa atau apa ini sedang berada di puncak.

Api Gilga Sahid

Ada dua faktor  yang menurut saya membuat Gilga ini akan bertahan lama. Pertama, karena genre pop-dangdut yang sedang tren sekarang ini, sebuah genre yang segar dalam skena dangdut kontemporer. Lirik bahasa jawa dan patah hati ini menjadi paket lengkap untuk bersendu ria ditengah kehancuran asmara anak muda. Banyak sekali pasar yang akan dijangkau, karena kebanyakan masyarakat begitu dekat dengan isu ambyarisme,  penduduk lokal juga mudah menjerit saat membaca dan melantunkan lirik-lirik lagu pop-dangdut ini.

Kedua, karena budaya ini memang sudah mengakar dari lama. Sebelum pop-dangdut, sudah ada campursari terlebih dahulu. Lalu, ada dangdut koplo yang kehadirannya sempat menjadi kontroversi karena masalah pakaian, goyangan tidak senonoh, dan lirik yang kadang tidak mendidik. Jadi, kedua faktor tersebut jika dimanfaatkan dengan baik oleh Gilga, saya yakin dia akan tetap berkibar dengan anginnya sendiri.

Fenomena suara Gilga ada di seluruh penjuru Madiun ini sudah sama seperti suara Soekarno ketika memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Benar-benar ada di mana-mana. Saya sendiri masih bingung kenapa fenomena ini bisa sampai seperti ini mengingat masyarakat Madiun itu FOMO. Mungkin ada beberapa faktor lain yang belum saya temukan, tapi ya sudah, saya malas mengulik lagi. Hahaha.

Karena Gilga meledak di kampung halamannya sendiri, saya berharap hal yang sama juga terjadi untuk orang-orang yang sampai saat ini tidak berhenti berkarya untuk Madiun. Karena banyak sekali orang yang berkarya, membawa nama Madiun, tapi tidak kunjung melejit. Apa kalau mau melejit harus pop-dangdut dulu? Entahlah.

Tidak ada tujuan menyinggung siapa pun di tulisan ini karena saya sendiri saja bingung ke mana arah tulisan ini. Semoga saja tidak ada hal yang menyinggung dalam tulisan ini karena tujuan saya cuma ingin masyarakat Madiun lebih peka lagi dengan sekitar mereka agar orang-orang yang belum kesorot bisa dapat panggung yang layak. Terima kasih.

Penulis

Danang Dwi F.A