Merobohkan Lawan Sudah Biasa, Kami Naik Level Dengan Merobohkan Tugu

foto: suarasurabaya

Pencak Silat Madiun kembali ramai diperbincangkan, hal ini berangkat dari prestasi kontingen pencak silat Madiun yang kurang memuaskan di Porprov Jatim 2023. Madiun masih kalah dengan Surabaya, Blitar, dan Sidoarjo. Ini bukan kali pertama, tahun lalu kita juga menelan pil pahit kekalahan di Porprov Jatim 2022.  Madiun yang kita kenal sebagai Kota Pendekar dan Kampung Pesilat, terbukti belum maksimal dalam menunjukkan taji prestasinya di gelanggang Porprov.

Masyarakat tentu layak bertanya, mengapa kita tak mampu meraih juara pertama, toh Madiun dikenal dunia sebagai kampung pesilat. Ada yang menyalahkan sistem kaderisasi, fokus dengan kuantitas ketimbang kualitas, kegagalan regenerasi, minimnya pendidikan atlet dan event yang tidak berkelanjutan. Mungkin Madiun kalah di atas gelanggang, tapi kalau di jalan, ya saya nggak tahu, yang saya dengar sih lebih banyak suara knalpot ketimbang prestasi.

Kaum esensial juga tak mau kalah, mereka  beargumen bak filsuf kontemporer, bahwa pencak silat Madiun berfokus mendidik manusia untuk berbudi luhur, tahu benar salah dan bertaqwa kepada Allah. Kaum filosofis sering mengartikan bahwa fokus pencak silat Madiun bukan untuk mengalahkan lawan, tapi sekedar proses untuk meningkatkan kualitas manusia. Tak ada yang salah dari argumen di atas, namun agak kurang menyenangkan jika argumen ontologis ini muncul dalam hal-hal teknis seperti prestasi. 

Tak Pernah Belajar

Sebelum menulis catatan mingguan ini, saya membaca sebuah pesan whatsapp group, sedang ada drop-dropan pencak silat di Madiun. Intinya sedang terjadi masalah antara dua kubu pencak silat. Era disrupsi yang kian maju tak sama sekali mengubah pola pikir bahwa keberagaman adalah kekayaan, perbedaan selalu dijadikan alasan untuk bertengkar. Kadang, kita berselisih hanya karena hal remeh temeh yang harusnya selesai di warung kopi.

Tak membayangkan jika harus menulis tentang pencak silat Madiun lagi, banyak kesimpulan yang pernah saya utarakan, bahwa kita (pencak silat madiun) memang tak pernah mau belajar dari masa lalu. Masalah pencak silat Madiun adalah problematika struktural yang sayangnya diselesaikan dengan panggung sambutan, penyelesaian masalah dengan cara ini terbukti gagal dalam perjalanannya.

Namun, harus kita akui bahwa pesilat Madiun jauh lebih dewasa, konflik yang terjadi nampak turun frekuensinya. Penegakan regulasi dan sinergitas organisasi pemerintah daerah terbukti berhasil, Suro tahun 2023 Madiun terdengar nyaman dan damai, tidak ada darah bercecer, kabar rumah rusak, jeritan warga tak berdosa, dan fasilitas umum yang amburadul. Kita musti mengapresiasi pencapaian tahun ini, karena kedewasaan tak untuk semua orang.

Kita memang kalah di gelanggang Porprov, tapi bukan berarti pesilat Madiun tak punya prestasi. Bulan lalu, tiga pesilat asal Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT), Pusat Madiun-Indonesia, berhasil meraih Medali Emas dalam kejuaraan Seni Pencak Silat piala Sri Baginda Sultan Negara Brunei Darusalam yang ke-77 tahun 2023. Prestasi ini bisa jadi motivasi pesilat Madiun yang akan turun di Porprov tahun depan, sebab kemenangan bukan hanya tentang kompetensi tapi juga bicara soal mental berkompetisi.

Contoh keberhasilan pesilat Madiun di atas gelanggang tak perlu ditanyakan, jumlahnya banyak sekali. Sekarang tinggal bagaimana kita sebagai organisasi pencak silat mampu menjaga dan menciptakan ekosistem pesilat yang baik, pelatihan yang jelas, rencana yang rinci dan manajemen atlet yang terorganisir. Bentuk para atlet yang akan turun gelanggang menjadi pendekar yang percaya dengan kualitas dirinya, tak mudah memang, tapi Madiun pasti bisa.

Merobohkan Tugu

Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Jawa Timur baru saja menelurkan  surat bernomor 300/5984/209.5/2023 perihal penertiban atau pembongkaran tugu pencak silat, ditujukan kepada Ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI). Surat ini adalah tindak lanjut dari rapat koordinasi pengamanan Suran Agung di Mapolda Jatim  (26/6/2023). Rapat adiluhur yang dihadiri Kapolda Jatim, Dandim Wilayah Madiun, Ketua IPSI Jatim, Pemprov Jatim dan beberapa Ketua Umum Pencak Silat.

Himbauan kepada pimpinan perguruan pencak silat se-Jatim agar membongkar (baca: menertibkan)  tugu perguruan pencak silat. Bangunan tak bernyawa ini dianggap jadi salah satu penyebab konflik pencak silat selama ini. Vandalisme, pelemparan batu, dan upaya perusakan memang sering menyasar tugu-tugu yang ada di pinggir jalan. Tapi solusi yang ditawarkan, adalah laku menyelesaikan masalah dengan masalah.

Kita tak perlu merobohkan stadion saat suporter sepak bola membuat kerusuhan, Madiun juga tak perlu merobohkan tugu saat ada pesilat yang bersikap banal. Beda lagi kalau pendirian tugu tersebut sudah melanggar undang-undang dan mengganggu ketertiban, tapi pembongkaran tugu dengan dalih penertiban agar tak terjadi kerusuhan, jadi satu langkah solutif yang perlu ditanyakan.

Sebab lambang tugu pencak silat adalah objek yang tersusun atas berbagai simbol, di dalamnya memuat banyak sekali nilai yang memberi derap harap . Meskipun tugu adalah benda mati yang persisten dijadikan kambing hitam, tugu tetaplah tugu, kumpulan simbol yang jadi kesepakatan bersama, memuat gagasan dan nilai ideologis agar para pengikutnya tetap hidup dengan nilai-niali. Merobohkan tugu sama dengan mengikis identitas Madiun sebagai Kampung Pesilat Indonesia.

Kita memang kalah di atas gelanggang, tak mampu merobohkan lawan dan pulang dengan kekalahan. Tak masalah, kekalahan ini membuat kita belajar, bahwa percaya diri sebagai kampung pesilat saja tak cukup, perlu akrobat lain agar city branding tak jadi bahan olok-olokan daerah lain. Madiun memang kalah di porprov, tapi soal merobohkan tugu, inshallah kami juara. Kampung Pesilat Nda! Swenggol Dwong!