Sepi dan Menepi di Bantaran Kali (Madiun)

foto: madiuntoday

Fenomena anak muda yang berbondong-bondong menikmati senja di Bantaran Kali Madiun, adalah salah satu fenomena sosial yang hanya bisa saya amati, tidak ada waktu senggang untuk ikut menepi di pinggir kali ini. Saya melihat kebahagiaan, keceriaan, sekaligus tanda tanya besar, kenapa kebutuhan kita untuk sejenak menepi dari riuh duniawi itu perlu. Terlalu naif jika ada yang mengatakan bahwa anak muda Madiun sedang terasing, takut ketinggalan, atau spekulasi negatif lainnya yang biasanya tersemat dalam pundak anak muda.

Saya tidak tahu alasan persis kenapa anak muda Madiun nampak riuh memadati Sungai Bantaran, mereka punya reason masing-masing. Mungkin ada yang ikut-ikutan karena fenomena ini begitu ramai di sosial media. Ada juga yang sejenak menepi dari beban belajar yang menyebalkan, mengingat banyak sekali anak muda yang meramaikan dan masih mengenakan seragam. Terlepas dari motif para penikmatnya, kita bisa menyaksikan kegiatan ekonomi berjalan.

Nampak pulau di tengah sungai riuh dengan suara manusia, memperbincangkan hal yang remeh temeh hingga isu politik para elite. Mereka tertawa dengan cara yang sederhana, es teh di tangan kanan dan sempolan di tangan kiri, ada juga yang hanya mengamati, lalu bergumam dalam hati “wong sak mene mbane kok skena kabeh!”. Tak ada yang tahu pasti apa yang mereka bahas. Yang ada hanya semburat senja beserta keindahannya. Mereka musti membeautifikasi sore dengan afirmasi positif terhadap semesta, bahwa yang indah kadang ikhlas tenggelam demi kegelapan.

Gen Z dan Kesehatan Mental

Generasi Z adalah generasi yang lahir tahun 1997-2012. Mereka lahir dengan segala kemudahan hidup, tak perlu wartel, radio, dan komputer. Gen z punya smartphone yang menggusur eksistensi benda-benda lawas di atas. Rentetan hal praktis yang membanjiri generasi z, melahirkan satu generasi yang remok, gampang rungkad, dan rentan terserang isu kesehatan mental. Tsunami informasi akibat adanya sosial media makin mempertebal masalah yang ada.

Lifta*, kawan dekat yang saya kenal sangat produktif, ia baru saja menyelesaikan studi sarjana di salah satu kampus ternama. Selama ini saya mengenal Lifta sebagai sosok yang dekat dengan isu feminisme, membenci praktik patriakri, dan peduli dengan kerja-kerja kesetaraan gender. Ia juga bukan mahasiswa biasa, capaian akademiknya mengagumkan, aktif dalam beberapa penelitian. Hingga tibalah pada satu momen, dia ngaku kalau bulan ini sedang rawat jalan akibat depresi berat.

Tentu tidak ada yang menyangka wanita se independent dia terkena wabah depresi, dibalik senyum manisnya, banyak luka yang ia tutupi. Itulah gambaran generasi z akhir-akhir ini, nampak bahagia tapi aslinya terluka. Hingga muncullah satu tawaran solutif bernama mindfulness, sebuah upaya untuk melawan kecemasan dan kekhawatiran masa depan, praktik hidup berkesadaran, melihat realitas dengan kacamata mindfulness menjadikan kita hidup santai meski masalah membantai.

Mudahnya, mindfulness mengajak kita untuk sadar, menjalani hari dengan kesadaran penuh terhadap apa saja yang kita lakukan. Berjalan dengan kesadaran bahwa ada tujuan yang ingin kita capai, belajar dengan penuh sadar bahwa kita sedang bertumbuh menjadi manusia yang jauh lebih baik, memasak dengan pikiran sadar bahwa akan ada sajian makanan yang harus dipersembahkan. Mindfulness mengajak kita untuk terus hidup berkesadaran.

Karena tidak semua yang hidup itu sadar, saat kita naik motor dari satu tempat ke tempat lain, kita melewati banyak sekali toko kelontong, tapi saat ditanya berapa jumlahnya, kita akan kesusahan untuk menyebutkan berapa jumlah toko kelontong yang saya lewati selama perjalanan. Hal ini maklum terjadi karena manusia banyak dipengaruhi oleh alam bawah sadar. Saya juga tidak sadar berapa detik yang sudah saya habiskan untuk menulis esai ini.

Isu kesehatan mental jadi semacam keniscayaan untuk anak muda, tak peduli anda tinggal dimana, berapa gajinya, dan dari rahim siapa anda dilahirkan, cepat atau lambat, anda akan menghadapi situasi serba sulit, cemas berlebih dan khawatir tiap malam. Kebutuhan kita akan hidup yang lebih bahagia dan terhindar dari masalah kesehatan jiwa, menjadi kebutuhan primer yang tak tergantikan.

Sekedar Menepi

Kita sadar bahwa dunia berjalan sangat cepat, entah mengejar ketertinggalan ataupun melawan batas kemustahilan. Januari kita dikejutkan dengan Iphone 14, September sudah lahir series baru Iphone 15, awal tahun kita menyaksikan konser artis Ibukota, tengah tahun kita juga sudah riuh dengan festival musik lainnya. Masih ada banyak contoh bahwa dunia ini berjalan begitu cepat, berlomba-lomba untuk mencapai tujuan, riuh tak berkesudahan

Keterbukaan informasi memang membuka banyak peluang, namun juga menyisakan puluhan tantangan, di zaman yang terbuka dan serba cepat ini, kita disuguhkan kecepatan informasi, kita tahu banyak tentang dunia, tapi kita paham sedikit. Dalam satu jam scroll sosial media saja, anda bisa menemukan edukasi tentang psikologi, filsafat, militer, dan politik. Anda tahu banyak akan bidang-bidang pengetahuan, tapi hanya paham sedikit. Momen ini biasanya kita sebut pendangkalan pemahaman ilmu pengetahuan.

Rentetan hal baru dalam hidup menjadikan pikiran kita keruh, rumit, dan serba sulit. Kondisi yang demikian menjadikan kebutuhan kita untuk menepi semakin tinggi, ada yang sejenak menepi dari hiruk pikuk kota dengan pergi ke desa, melihat hijaunya sawah, merasakan semilirnya angin, kehidupan warga desa yang santai, dan segenap aktivitas yang mengajak pikiran manusia untuk tenang, meski hanya sejenak.

Ada banyak pilihan untuk menepi, berjalan kaki juga jadi salah satu hal yang bisa kalian lakukan untuk sejenak bersantai dari aktivitas dunia yang serba cepat. Anda bisa berjalan dengan penuh kesadaran, menemukan alasan bahagia dengan cara yang sederhana. Trotoar yang rusak, jalan yang berlubang, pengendara motor tanpa helm, dan hal lain yang anda temui saat berjalan kaki, rasanya cukup untuk menjadi alasan berbahagia dan menepi dari hiruk pikuk dunia.

Alternatif lain yang ramai di Madiun ya menepi ke pinggir sungai, duduk santai di atas batu, memantapkan pandangan kepada senja, menata hati untuk bersantai ria, dan cipika-cipiki dengan hal yang semenjana. Saya rasa ini jadi tawaran menepi yang efektif untuk anak muda Madiun, jaraknya tak jauh dari pusat kota, tempatnya terintegrasi dengan taman dan fasilitas parkir yang memadai. Tak ada yang perlu disalahkan dari fenomena ini, kecuali masalah sampah.

Namun ada satu hal yang mustinya kita pikirkan lebih dari kebutuhan menepi, yaitu kebutuhan anak muda Madiun untuk beraktualisasi, ini menjadi kebutuhan yang penting bagi manusia, aktualisasi diri adalah hal yang mustinya di wadahi oleh mereka*. Memang sudah banyak wadah pengembangan diri di Madiun, dari berbagai skena sudah terkonsolidasi menjadi organisasi/komunitas, namun kurang maksimal saja dalam praktiknya. Faktornya ada banyak, kalian pikir sendiri saja.