Toga Mas Madiun Resmi Kandas, Meski Kita Tak Akan Pernah Berpamitan Dengan Kertas

foto: cnnindonesia

Mari kita sadari bersama, bahwa kita memang tak punya kemauan yang serius untuk mewujudkan mimpi besar  Indonesia Emas 2045, syarat utama menjadi bangsa yang maju dan digdaya adalah dengan menjaga kualitas manusia. Tapi, bangsa besar ini nampak begitu abai dengan aspek paling fundamental dalam pembangunan suatu negara. Warga miskin dilarang kuliah, toko buku sepi dan akhirnya mati, dan masih banyak lagi bentuk kepayahan kita dalam merawat dan membangun kualitas manusia.

Toko Buku Gunung Agung baru saja menutup seluruh tokonya akhir tahun ini. Sedih memang, tapi keputusan harus tetap diambil mengingat kerugian yang makin besar. Jasa toko buku memang tak populer, tak akan mampu melawan algoritma FYP tiktok yang berpihak pada konten-konten singkat nan dangkal. Tapi buku tetaplah buku, ia melakukan kerja sunyi untuk peradaban, dampaknya tajam untuk mereka yang candu akan pengetahuan, pengaruhnya kepada kebudayaan juga tak perlu diperdebatkan, buku adalah sejatinya pondasi dari segala tafsiran pondasi.

Orang akan cenderung menyalahkan zaman digital sebagai biang kerok dari bangkrutnya toko buku, tapi terlalu naif juga jika kita hanya menyalahkan digitalisasi sebagai penyebabnya. Marketing yang tidak relevan, perubahan gaya transaksi, dan kurangnya keberpihakan terhadap sistem perbukuan nasional. Pernyataan di atas adalah tiga dari sekian banyak faktor tutupnya toko buku. Tak bijak memang jika kita saling menyalahkan, karena yang patut kita renungi adalah pertanyaan “memang kita masih hobi membaca buku?”

Selamat Jalan Toga Mas Madiun

Saya kaget saat membaca kabar bahwa Toga Mas Madiun tutup permanen per tanggal 20 Agustus 2023. Bahkan saat menulis ini saja, saya masih merinding dan tak habis pikir, kabar perpisahan ini tercium saat saya melihat story whatasapp salah satu sahabat, ia membagikan tangkapan layar yang didalamnya memuat informasi bahwa Toko Buku Toga Mas Madiun resmi  tutup untuk selama-lamanya. Berselancarlah saya ke X untuk memastikan kebenaran informasi, dan benar. Toga Mas akhirnya pamit.

14 Tahun ia menemani pembaca Madiun untuk terus mendapatkan buku bacaan, naskah pengetahuan berkualitas, atau sekedar cerpen fiksi yang memperkaya imajinasi. “Sampai jumpa dilain kesempatan. Terima kasih telah mengukir cerita bersama kami selama 14 tahun terakhir ini. Sampai jumpa nanti” ucap admin X @togasmadiun. Tak ada yang tahu pasti apa alasan tutupnya toko buku ini, mau berspekulasi seperti apapun, tak akan mengubah keadaan bahwa Toga Mas Madiun resmi pamit dan entah kapan akan menyapa kita lagi.

Memang tak banyak kenangan saya di Toga Mas Madiun, tapi persinggungan dengan toko buku ini, akan terus membekas sebagai kenangan indah di masa sekolah. Saya pernah beli buku disini, novel Comedy Juno karya Jacob Julian dan sebuah buku praktis yang mengajarkan kiat-kiat menguasai public speaking. Saya juga sering nitip nyampul buku di Toga Mas Madiun, karena toko buku ini menyediakan sampul gratis bagi pelanggannya, tiap datang, saya musti nitip agar buku bacaan saya disampul oleh petugas. Selain gratis, kualitas sampulnya super rapi dan mengagumkan.

Ekosistem perbukuan mengalami revolusi mematikan yang sangat cepat. Pemerintah mengabaikan eksistensi buku sebagai bagian dari membangun literasi secara sehat ketimbang melalui artikel ilmiah (Saifur Rohman, Kompas). Teknologi yang makin maju ini memang merusak eksistensi buku, kemudahan dalam mencari bacaan di internet, menjadikan kebutuhan kita terhadap buku fisik makin turun, mengingat juga bahwa buku memang bukanlah kebutuhan primer, buku hanyalah kebutuhan tersier.

Kita Tak Akan Pamit Dengan Kertas

Masa lalu, kertas menjadi media yang dominan untuk berbagai aktivitas seperti membaca, menulis, mencetak, dan berkomunikasi. Namun, dengan berkembangnya teknologi digital, penggunaan kertas akhirnya semakin berkurang, ditambah lagi bahwa kertas menjadi salah satu limbah yang kurang bersahabat dengan keberlangsungan ekologi. Era digital telah menggeser banyak fungsi: e-book menggantikan buku cetak, email menggantikan surat fisik, dokumen digital menggantikan dokumen fisik, dan masih banyak lagi..

Namun, bagi sebagain booklovers, peradaban kertas tak akan pernah pamit, kebutuhan kita dengan buku fisik bukan lagi kebutuhan yang semenjana, memiliki buku cetak adalah jalan yang menghubungkan pecinta buku dengan kebahagiaan. Memang kebutuhan manusia terhadap benda fisik memiliki hubungan yang erat dengan psikologi. Benda fisik seperti buku  memiliki dampak emosional, psikologis, dan bahkan sosial pada sebagian individu. Ini yang jadi alasan sederhana kenapa kertas tak akan pernah pamit.

Kepuasan dan kesenangan memiliki buku fisik adalah kebahagiaan yang tak akan tuntas jika dituliskan, walaupun ada yang mencoba untuk menuliskannya, narasi yang dibangun tidak akan pernah utuh untuk bisa mendeskripsikan betapa bahagianya booklovers saat membawa, mencium, dan membaca aksara dalam buku cetak. Keberadaan buku fisik bagi pecinta buku tak akan tergantikan oleh teknologi, baik itu kindle, tablet dengan layar berkualitas, ataupun bentuk teknolog lain yang didesain untuk membaca.

Menghabiskan akhir pekan dengan jalan-jalan ke toko buku adalah kesenangan bagi sebagian orang. Membaca judul buku, menghirup aroma kertas, melihat kumpulan ide, gemuruh gagasan, dan aktivitas sederhana lain di toko buku, justru jadi agenda healing bagi generasi z yang cinta dengan membaca. Kadang juga berujung jadi overthinking karena harga buku memang tak lagi murah.

Seyogianya Skena Buku

Tutupnya gerai buku memang tak perlu ditangisi, momen ini justru menyadarkan kita semua, bahwa sudah seyogianya toko buku berubah, tak hanya cukup menjual buku yang tertata rapi, tapi juga menghadirkan suasana berkesan bagi pelanggan. Banyak toko buku yang mulai sadar dan aktif memberikan gaya baru dalam menjual buku, menggabungkannya dengan coffee shop, aktif melakukan diskusi, atau menghadirkan sudut temaram yang mendukung kebutuhan story instagram.

Toko buku harus terus adaptif dengan gaya hidup masyarakat, Gramedia adalah salah satu toko buku yang masih bertahan ditengah gempuran digitalisasi, karena apa? karena kemauan mereka untuk terus berubah, adaptif, dan inovatif. Gramedia tak hanya menjajakan buku, namun menjual beberapa keperluan dalam dunia pendidikan, mulai dari tas, alat tulis dan kebutuhan administratif lain. Gramedia juga aktif mempertemukan penulis,  pembaca dan penerbit lewat diskusi yang sederhana.

Buku Akik, salah satu toko buku indie yang paling skena di Yogyakarta, selain menjual buku berkualitas, toko buku milik Mas Tomy ini memberikan experience store yang luar biasa hangat, identik dengan lampu temaram, dan suasana store yang seakan-akan rumah, ya memang rumah sih, wkwkwk. Buku Akik adalah satu dari sekian banyak toko buku indie Yogyakarta yang bertahan dan terus menghadirkan opsi baru dalam berbelanja buku. Belum bisa ditasbihkan jadi booklovers jika kalian belum mampir Buku Akik, serius!