Mendadak Jadi Pakar Pembangunan Pasca Replika Monumen Nasional


Saya baru saja menuntaskan novel “Yang Dirahasiakan Langit” karya Anrico Alamsyah, sastrawan sekaligus novelis muda kebanggan Madiun, sebuah novel yang menyenangkan, meski penuh dengan kisah asmara kawula muda pada umumnya, Anrico tampil beda dengan novel keduanya, ia menerawang masa depan dengan utopia positif, pikirannya menyeruak kedepan membayangkan Kota Madiun yang ideal. Tak hanya romantis filosofis, karya Anrico berhasil mengajak pembaca untuk menerka masa depan dunia.


Kira-kira begini tulis Anrico. “Pada tahun itu, Madiun mengalami perkembangan yang pesat, ekonomi bertumbuh cepat, rakyatnya makmur sejahtera, dan kotanya bersih bak kota maju yang kita idamkan,” khayalan masa depan yang nyaris kita semua inginkan. Tak lama setelah mengkhatamkan novel setebal 200 halaman ini, Madiun riuh dengan perdebatan futuristik, berdirinya replika Monumen Nasional di Alun-Alun Kota Madiun menuai banyak cibiran.


Tiba-tiba Madiun surplus pakar pembangunan, lebih dari seribu komentar memadati postingan Madiunpedia x Medhioenae. Ada yang persisten menyuarakan krisis identitas, berteriak dengan nada Madiun Kota Replika dan terus tidak setuju dengan bentuk pembangunan copy paste. Suatu hal yang wajar di negara demokrasi seperti Indonesia ini. Namun, banyak juga yang mendukung berdirinya Monas sebagai upaya pop culture untuk membangun kota, alasan ekonomi sering jadi dasar kaum-kaum afirmasi seperti Dhidan Tomy.


Bertemu Pakar Menakar Kelakar


Meski kepakaran diprediksi akan mati dan universitas ternyata jadi penyebab utama matinya kepakaran. Saya mencoba untuk tidak sok-sokan paham perihal pembangunan, berdiskusi dengan pakar adalah jalan terbaik untuk mencari titik seimbang di tengah gejolak cangkeman. Dhidan Tomy, saya pikir ia tidak keberatan kalau harus dilabeli pakar pembangunan wilayah kota, 4 tahun hidupnya dihabiskan untuk belajar dan melakoni kerja-kerja planologi.


Bismillah ndakik-ndakik nda, dalam khazanah keilmuan planologi. At least, anjay udah keselek monas aja nih gua. Ok lanjut,  setidaknya ada dua pola pembangunan: bottom up dan top down. Mudahnya, pola pembangunan bottom up itu bawah ke atas, dari rakyat ke pemerintah, sedangkan pola pembangunan top down sebaliknya, dari atas ke bawah, dari pemerintah untuk rakyat. Dari keduanya, mana yang jauh lebih baik dan ideal untuk Kota Madiun?


Dominasi pola top-down mewarnai pembangunan Kota Madiun, banyak proses perencanaan dan pengembangan wilayah yang diinisiasi pemerintah tanpa melibatkan komunitas lokal (masyarakat). Kurangnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan berakibat pada tingkat irelevansi dan kepuasan masyarakat lokal yang rendah, kritik terhadap pola top-down biasanya bernada bahwa pembangunan yang dilakukan tidak sesuai dengan keinginan dan karakteristik masyarakat lokal.


Proses pembangunan Monas di Alun-Alun Kota Madiun nampak dilakukan dengan  proses perencanaan yang tidak kolaboratif, keputusan dan rencana dikendalikan oleh otoritas yang berkepentingan tanpa melakukan pendekatan kepada masyarakat lokal. Hal ini bisa nampak dari masifnya penolakan netizen di kolom komentar, nyaris semua civil society tidak setuju dengan pembangunan miniatur Monumen Nasional. Dalam kasus ini, masyarakat lokal nampak hanya menerima keputusan tanpa dilibatkan sebelumnya.


Bukan kali pertama Pak Maidi bermanuver dengan laku pembangunan pop culture. Menggunakan tren budaya, hiburan, dan gaya hidup yang sedang populer pernah beliau lakukan saat membangun Pahlawan Street Center. Dampak positif dari pola pembangunan pop culture-top down adalah meningkatnya daya tarik wisata serta pembangunan ekonomi. 


Namun juga menyisakan banyak dampak negatif seperti kehilangan identitas lokal, proyek-proyek pembangunan pop culture sering kali cenderung menggantikan atau mengaburkan identitas budaya dan sejarah lokal. Cepat atau lambat akan mengikis karakteristik unik yang membedakan suatu tempat dengan elemen-elemen yang  generik. Biaya mahal, pengelolaan lalu lintas kacau, gentrifikasi, kesenjangan sosial, dan kerusakan lingkungan adalah dampak negatif lain dari pola pembangunan ini.


Kita banyak disuguhkan fenomena artis pendatang yang merangsek masuk dalam skena TV nasional hanya karena satu dua video yang FYP. Namun, kita juga menyaksikan begitu cepat artis pendatang itu redup dan menghilang dari radar. Budaya populer sering memiliki siklus hidup yang relatif pendek. Sebuah proyek yang awalnya sukses dapat mengalami penurunan popularitas dan keberlanjutan karena tidak menguatkan hal yang seharusnya dikuatkan: masyarakat lokal.


Seyogianya Pembangunan


Ketakutan terbesar dari masifnya pembangunan fisik adalah rapuhnya pemerintah dalam mengelola sumber daya manusia, masyarakat adalah aspek paling fundamental dalam agenda menjaga keberlanjutan, baik itu pariwisata yang berkelanjutan maupun ekonomi yang berkelanjutan. Kita tak ingin Kota Madiun mengulangi kesalahan masa lalu dengan menjual potensi daerah kepada investor lalu  menggusur masyarakat asli karena kenaikan harga dan biaya hidup.


Jika kita berkaca pada satu pola pembangunan yang lain yaitu bottom-up. Pola pendekatan perencanaan dan pengembangan wilayah yang dimulai dari tingkat paling bawah, yaitu dari masyarakat lokal dan kemudian naik ke tingkat pemerintah daerah. Maka nada penolakan terhadap proyek pembangunan tak akan semasif sekarang. Mengajak dan memberdayakan masyarakat lokal dalam perencanaan akan berdampak besar pada nila-nilaii berkelanjutan, relevansi, dan daya guna.


Partisipasi aktif komunitas. Memberikan masyarakat otonomi dan kendali lebih besar atas proses perencanaan. Penyesuaian dengan konteks lokal seperti mencerminkan keunikan lokal dan budaya. Memastikan masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengembangan wilayah. Adalah ciri dari pola pembangunan bottom-up, pembangunan semacam ini dapat meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat terhadap tempat tinggal mereka.



Perdebatan mana pola yang ideal dalam membangun sebuah kota tak akan ada habisnya, pembangunan top-down menawarkan kecepatan dan dampak yang pragmatis, sedangkan bottom-up menawarkan inklusifitas dan keberlanjutan pembangunan wilayah. Konsep moderat lagi-lagi jadi tawaran solutif, menggabungkan elemen  dari pendekatan bottom-up dan top-down untuk mencapai keseimbangan yang baik antara partisipasi masyarakat dan pengawasan pemerintah.


Konsep moderat ini dikenal dengan pola pembangunan placemaking, sebuah konsep dan pendekatan dalam perencanaan perkotaan dan pengembangan wilayah yang bertujuan untuk menciptakan tempat yang lebih baik, nyaman, dan berdaya tarik bagi penduduk dan pengunjung. Placemaking berfokus pada proses kolaboratif untuk mengubah atau memperbaiki ruang-ruang publik dan lingkungan fisik agar lebih ramah manusia dan memenuhi kebutuhan komunitas lokal. 


Pola pembangunan placemaking bukan hanya tentang menciptakan ruang yang indah, tetapi juga tentang membangun komunitas yang kuat dan berdaya. Ini adalah pendekatan holistik yang memerlukan kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk mencapai tujuan yang lebih baik dalam perencanaan dan pengembangan wilayah. 


Jangan sampai Madiun mengulangi kesalahan kota lain yang menolak masyarakat sebagai aspek fundamental dalam pembangunan wilayah.