Kota Madiun Terbuat dari Wisata Replika dan Ancaman Krisis.



Madiun memang tak secapek Jogja dan tak selelah Surabaya. Namun, daerah yang produktif melahirkan pendekar ini nampak bersiap untuk mengulangi kesalahannya. Jogja, daerah istimewa yang sedang kecapekan, menguras habis tenaga dan sumber daya untuk pariwisata, hingga luput memikirkan hal yang seyogyanya diprioritaskan, yak tepat sekali, Jogja lupa dengan masyarakatnya. Mengelus pipi kanan wisatawan sambil menonjok pipi kiri masyarakat, memoles kerusakan dengan beautifikasi semu, dan terus meromantisasi segala hal agar roda terus berputar. Itulah Jogja.  

Surabaya, ibu kota Jawa Timur yang sedang tersenyum, senyum pertama karena investasinya menggila, senyum kedua karena bengisnya kehidupan kota. Tunjungan adalah senyum ranum para konglomerat— sekaligus wajah lesu para buruh startup, memang begitulah kehidupan kota besar, ketimpangan di depan mata, krisis mengancam dari segala bidang: udara, air, dan tanah. Seperti biasa, kota dengan hiruk pikuknya tak akan pernah sepi dengan keluhan, infrastruktur yang kacau, manajemen perumahan yang buruk, tata kelola kota yang kurang efektif, dan tumpukan kendaraan yang bising. Namun, semuanya dapat disiasati dengan pecel lele dan segelas teh anget tawar.

Kota Madiun sedang berjalan menuju Jogja dan Surabaya, cepat atau lambat akan sampai pada capaian-capaian gemilang: investasi yang kencang, pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan, dan pembangunan masif di berbagai bidang. Pencapaian kuantitatif semacam ini memang baik, bahkan perlu didorong percepatannya. Namun, menjadi Jogja dan Surabaya tak semudah membalikkan telapak tangan kanan, mereka punya rentetan problematika yang tak layak diulang. Kota Madiun, dengan iklim investasi 2023 yang cukup baik, musti membayangkan khayalan buruk akibat pembangunan yang antroposentris (mementingkan manusia) tanpa memikirkan nilai keadilan, keseimbangan, dan keberlanjutan.


Berkat proyek pariwisata replika yang gemilang, Kota Madiun nampak dilirik oleh investor, Kota Pendekar setidaknya diminati sejumlah investor hotel berbintang. Bahkan, beberapa di antaranya sudah mulai pembangunan. Nilai investasinya juga besar. Hotel Luminor yang rencananya akan dibangun di lokasi transmart Jalan S Parman memiliki nilai investasi sebesar Rp 150 miliar. Seperti diketahui, kontrak Transmart di lokasi tersebut juga telah habis. Kalau yang Hotel Ibis nilainya Rp 151 miliar lebih. Hotel ini berada di Jalan Agus Salim yang dekat alun-alun (Madiun Today, 2023)


Keberhasilan kuantitatif semacam nilai investasi adalah hal penting untuk penyerapan tenaga kerja hingga peningkatan ekonomi daerah. Namun, ada hal penting lain yang mesti kita renungkan, jangan sampai geliat ekonomi yang kencang ini menggeser hal baik yang seharusnya dipertahankan.  Kota Madiun musti belajar dari Jogja perihal pembangunan hotel dan dampaknya terhadap ketersediaan air bersih. Jangan sampai warga mengeluh susah air karena intensitas pemakaian yang tinggi untuk hotel dan pusat perbelanjaan. Tolong, jangan sampai ini terjadi, sebagai kota yang mau belajar dari negara maju, hal fundamental seperti ketersediaan air bersih mesti diprioritaskan untuk kebutuhan masyarakat.


Pengelolaan sampah, dua tahun saya menjadi warga Jogja, problem manajemen sampah tak pernah selesai dibahas, puluhan jurnal ilmiah terbit, ratusan ide solutif hadir, ribuan kritik menyinari jagat sosial media. Tetapi, puncaknya, TPST Piyungan malah ditutup dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Akibatnya, sampah rumah tangga menumpuk di pinggir jalan, TPS kelurahan kacau balau, bau tidak sedap menyengat, dan jadi parfum para pengendara yang sesak. Ironis, sedih, bengis, dan Madiun tak layak mencontohnya. Plis!


Banjir, tahun 2024 Kota Madiun dihadiahi semesta dengan genangan air, padanan kata yang sopan untuk tidak menyebutnya banjir. Masalah kota besar dengan pembangunan beton yang masif adalah gagapnya dalam memitigasi resiko. Jangan sampai Madiun mengulangi kesalahan Surabaya. Ketiadaan rencana tata ruang yang sejalan dengan kerentanan wilayah serta hanya mengikuti syahwat modal telah mendorong Surabaya menuju fase kritis (Wahyu Eka, 2024). Jangan sampai Kota Madiun banjir lagi, kita musti banyak belajar dari kesalahan tetangga.


Urbanisasi, perpindahan penduduk secara berduyun-duyun dari desa (kota kecil, daerah) ke kota besar (pusat pemerintahan). Menurut PBB, sekitar 60 persen populasi global akan bermukim di kawasan perkotaan hingga 2050. Ini berarti, kota-kota harus siap menghadapi booming infrastruktur. Kepadatan penduduk, krisis kesehatan, ketimpangan ekonomi, infrastruktur tidak inklusif, kesehatan masyarakat terganggu, gentrifikasi, dan kehilangan budaya lokal adalah ancaman Kota Madiun di masa yang akan datang. 


Dari sekian banyak ancaman krisis yang ada, kehilangan budaya lokal adalah hal yang paling menakutkan, Jogja bisa membeautifikasi kerusakan dengan senandung romantis yang terus dipelihara, Bandung dan Surabaya juga. Kota Madiun? tentu saya nggak tahu. Tapi yang jelas, sudah banyak simbol kebudayaan (tugu pencak silat) yang dirobohkan untuk satu dua hal, bagi saya itu ancaman untuk warisan budaya, pembangunan yang cepat seringkali mengorbankan identitas dan keunikan lokal. Semoga pemimpin masa depan Madiun paham akan hal luhur ini.

Terakhir, saya mencintai Madiun seperti saya mencintai diri saya. Kota Madiun memberikan saya kemegahan, keramaian, dan pendidikan yang cukup. Kabupaten Madiun memberikan saya arti kesederhanaan hidup. Saya tak pernah membayangkan hidup ini tanpa Madiun, warna yang ia berikan terlalu banyak. Saya pernah jatuh cinta disini, pernah sakit hati disini, pernah maksiat disini, pernah ibadah disini, saya pernah dekat dengan Tuhan disini, pernah jauh dari Tuhan juga disini. Sungguh berlebihan ini lur, haaaa. Saya cuma pengen bilang, jangan sampai Madiun mengulangi kesalahan kota-kota lain.