Pariwisata Kabupaten Madiun Adalah Kerja Panjang Yang Mustahil Selesai!

10 Rekomendasi Wisata Madiun, Cocok Untuk Liburan Akhir Tahun - Dok. Hutan Pinus Nongko Ijo
foto:bisnisstyle

Saya baru saja menonton Netflix Comedy Special dari abang-abangan lucu Amerika bernama Dave Chappelle, judulnya "The Dreamer". Sajian komedi tunggal yang  menyenangkan dan berkesan. Mas Dave adalah komika ternama di negara barat adidaya. Yang membuat comedy special terbarunya ini menjadi sangat berkesan adalah saat Mas Dave menutup tsunami tawa dengan renungan filosofis, perjalanan panjang dia meniti karir sebagai warga kulit hitam memang tak mudah, tapi dengan lantang dan berani, Mas Dave bilang kalau dia bisa mencapai titik ini karena mimpi, iya bermodal mimpi.

Jauh dari riuh kemajuan Amerika, hidup seonggok laki-laki tuna asmara bernama Didan, ia percaya dengan mimpinya, ia yakin dengan kapasitas intelektual dan modal sosial. Didan merancang rencana masa depan untuk dirinya, keluarga, dan tanah Madiun. Namun, Kabupaten Madiun berkata lain, daerah ini tak memberikan akses, jalan, dan kesempatan untuk mewujudkan mimpi-mimpi Indah itu, bahkan manusia-manusia di sana, tendensius membunuh mimpi anak muda. Keparat! apa yang bisa diharapkan dari  lingkungan yang membunuh modal hidup: harapan.

Lalu apa yang terjadi? Ya, Didan keluar dari kotak yang tak memberikan apapun, bahkan sesederhana harapan, Didan  keluar dengan merantau, ia memilih mempertaruhkan hidup di Jakarta, berteman dengan riuh stasiun manggarai, bau keringat para pekerja, dan bising kemacetan ibu kota. Tiap sore langit Jakarta memang indah, ada banyak mimpi bergelantungan, ada banyak cemas yang dipaparkan. Hingga tiba satu panggilan untuk kembali, Didan dihubungi orang penting Madiun, bahkan nyaris nomor satu di daerah yang dulu tak memberinya harapan itu. Ia kembali dengan kereta api menuju St. Mdn. “Nasi pecel Madiun, kebanggan warisan leluhur, ciri khasnya dibungkus daun,” nyaring suara mars St. Madiun.


Didan membahas pengembangan pariwisata Madiun bersama para elite. Bersama kesunyian desa, speaker mushola yang hambar, dan ramah warga kabupaten. Diskusi pariwisata dimulai. Sebenarnya, para tamu undangan paham bahwa masalah wisata di Madiun adalah problem kuno yang tak kunjung tuntas. Tapi yang namanya dipanggil elite. Didan musti berangkat dengan wajah ceria meski hati berkata lain. Bersama hidangan yang baru saja keluar dari wajan, obrolan luhur wisata dimulai, semuanya dimulai dengan konsep mass tourism dan community based tourism. Apa itu bang? 


Mass tourism merupakan suatu model wisata berskala besar yang dimaksudkan untuk jadi alternatif yang lebih sesuai dengan wisata massal. Jenis pariwisata ini dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Wisatawan yang datang memberikan pendapatan dari pengeluaran mereka dalam berbagai sektor, seperti akomodasi, restoran, transportasi, dan toko souvenir. Contohnya kalau di Madiun ya wana wisata umbul, pahlawan street center, dan wisata yang mengedepankan kepentingan ekonomi di atas segalanya.


Meskipun ada dampak positif, perlu dicatat bahwa konsep mass tourism juga menimbulkan tantangan dan dampak negatif, seperti over-tourism, degradasi lingkungan, dan kehilangan otentisitas budaya. Jumlah wisatawan yang sangat besar dan tak terkendali,  dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, fasilitas, dan penurunan kualitas  layanan. Mass tourism dapat menyebabkan kerusakan lingkungan juga, seperti pencemaran air dan udara, kerusakan ekosistem alami, dan pengurangan biodiversitas. Apa itu bang. Cari sendiri bro!


Wisata Berbasis Komunitas, atau Community-Based Tourism (CBT) adalah tawaran selanjutnya, sebuah pendekatan dalam industri pariwisata yang menekankan pemberdayaan masyarakat sebagai nilai utama, menempatkan mereka sebagai pusat pengembangan, pelaksanaan, dan manfaat pariwisata. Tujuan dari model ini adalah untuk melibatkan masyarakat langsung dalam pengambilan keputusan serta memastikan bahwa manfaat ekonomi, sosial, dan budaya dari pariwisata dinikmati masyarakat.


CBT bertujuan untuk memastikan bahwa manfaat pariwisata dinikmati secara adil oleh komunitas setempat. Dalam konsep ini, partisipasi masyarakat mencakup penentuan jenis wisata yang diinginkan, pembuatan kebijakan, dan alokasi hasil ekonomi. Pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal menjadi fokus utama, dengan mengurangi ketergantungan pada operator besar. Dengan menjadikan masyarakat sebagai pelaku dan penerima manfaat, pendekatan semacam ini tentu membutuhkan waktu panjang untuk memetik buah keberhasilan, butuh semangat yang berapi-api dan sinergi antar unsur dalam skema pentahelix.


Pelestarian warisan budaya dan lingkungan alam menjadi landasan penting CBT. Dengan pendekatan berkelanjutan, CBT bertujuan untuk mencegah kerusakan lingkungan dan menjaga keberlanjutan budaya masyarakat setempat. Edukasi wisatawan, pengembangan kapasitas lokal, dan partisipasi masyarakat dalam pemasaran destinasi mereka sendiri juga menjadi elemen kunci dalam model ini. Melalui pemantauan dampak pariwisata, CBT memungkinkan penyesuaian dan perbaikan untuk mencapai keseimbangan antara manfaat pariwisata dan keberlanjutan komunitas lokal serta lingkungannya.


Lalu Dhidan dan para elite itu sepakat, bahwa pengembangan wisata Madiun musti berbasis CBT. Sebab wisata mass tourism terlalu riskan untuk Kabupaten Madiun. Masalah muncul lagi, ternyata dalam kerja birokrasi pengembangan wisata, ada aturan di atas aturan, ada birokrasi di atas birokrasi, ada negara di atas negara. Untuk mengembangkan wisata berbasis komunitas di Kabupaten Madiun— khususnya dataran tinggi, kita mesti berdebat dengan Perhutani, mengenai lahan dan tetek bengeknya yang administratif itu. Para elite juga menyampaikan banyak keresahan. Salah satunya adalah sumber daya yang tak mumpuni.


Masalah sumber daya manusia adalah problem klasik pemerintahan, solusinya adalah pendidikan. Namun, saat Didan menyampaikan pertanyaan krusial. “Apakah ada beasiswa untuk anak muda yang mengambil studi pariwisata?”, elite menjawab tidak ada. Padahal, sejak awal, nada bicara dia sangat luhur, berbuih-buih tentang konsep yang ideal. Tapi ya begini ini nasibnya, masalah paling fundamental saja masih setengah-setengah untuk ditangani. Lalu apa yang bisa kita harapkan dari pariwisata daerah ini? Ya, terus bermimpi tentang hal ideal sambil terus mengupayakan usaha-usaha kecil, kelak akan berbuah juga. Semoga.