Bagaimana Seharusnya Kota dan Kabupaten Madiun Berbagi Beban?



Kota Madiun dan Kabupaten Madiun. Dua daerah yang berdampingan serta memiliki hubungan “persaudaraan” secara kultural. Saya akan menulis mengenai hubungan dua daerah ini dan bagaimana solusi agar keduanya bisa maju secara bebarengan, tentunya dari perspektif disiplin ilmu saya. Namun, seharusnya, ketika membandingkan antara dua daerah, wajib hukumnya untuk memakai data, karena fakta itu bersumber dari data. Kalau hanya sekadar argumentasi, itu namanya opini. Disisi lain, untuk kemaslahatan bersama, agar bahasa “esai” saya ini ndak terlalu ndakik-ndakik dan bisa dipahami semua, saya akan meminimalkan penjabaran mengenai data yang terlalu spesifik dan sebisa mungkin menggunakan bahasa yang umum.

Saya telah mengikuti madiunpedia ini selama beberapa waktu, dan dari situ pula yang bisa saya simpulkan dari diskusi yang muncul pada platform ini adalah isu-isu seputar Kota Madiun dan Kabupaten Madiun (kebanyakan). Soal Kota Madiun yang tidak punya identitas lah, kabupaten yang potensinya kurang dimanfaatkan lah, atau hubungan politik dengan manajemen daerah dan kemajuan yang membersamainya. Perlu saya ingatkan kepada pembaca, walaupun memang dua daerah ini memiliki nama yang sama, tetapi secara tata kelola dan karakteristik ekonomi itu sangat berbeda. Kabupaten Madiun, seperti namanya, adalah wilayah administratif kabupaten dengan luas wilayah mencapai 1.037,58 km2. Sementara itu, Kota Madiun adalah wilayah administratif kota dengan luas wilayah hanya 33,92 km2 (BPS Provinsi Jawa Timur). Membandingkan dua daerah ini itu nggak apple to apple, cara mengelolanya beda, pendekatannya pun beda. Ndak masuk nek jare wong. Kenapa?
 
Kota Madiun merupakan kota paling barat dari delapan kota di Provinsi Jawa Timur yang telah ditetapkan sebagai pusat pertumbuhan dan pusat wilayah dalam region pembangunan yang dinamakan WP (wilayah perencanaan) Madiun dan Sekitarnya. WP ini terdiri dari Kota Madiun, Kabupaten Madiun, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Ponorogo, dan Kabupaten Pacitan. (Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 5 Tahun 2012). Nah, sebagai pusat pertumbuhan, Kota Madiun memang dibuat sedemikian rupa sebagai pusatnya sektor ekonomi perdagangan dan jasa di WP ini. 

Sementara itu, WP Madiun dan sekitarnya difungsikan sebagai daerah pertanian tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, kehutanan, peternakan, pertambangan, pariwisata, pendidikan, kesehatan, dan industri. Sampai sini mungkin pembaca sudah memiliki gambaran tentang daerah Madiun baik kota maupun kabupaten. Dari sini, bisa ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya dua daerah ini bukan merupakan entitas yang independen. 

Dua daerah tersebut harus saling terkoneksi dan bersinergi untuk mewujudkan fungsi wilayah yang dicita-citakan. Madiun kota membutuhkan kabupaten di sekitarnya untuk menampung “limpahan” aktivitas ekonomi yang datang ke kota maupun daerah di dekatnya. Kabupaten Madiun pun sama, membutuhkan peran kota sebagai pendorong tumbuhnya aktivitas berciri perkotaan di Kabupaten. Loh, kok bisa? Ya, Kota Madiun itu sangat kecil. Tidak mungkin semua investasi dan juga pembangunan dipusatkan di kota. Luasnya cuma 33km2, kalau mau ada industri yang masuk, kendalanya pasti lahan. 

Nah, disinilah hubungan dan sinergi antar kota dengan kabupaten di sekitarnya menjadi sangat krusial. Untuk mengatasi adanya limpahan aktivitas kota dari Kota Madiun ke daerah di sekitarnya (urban sprawl), dua daerah ini harus saling bekerjasama. Apakah dua daerah ini sudah saling bekerjasama? Sudah kok. Kita bisa melihat bagaimana daerah yang awalnya “pinggiran” kota di daerah kabupaten, mengalami pembangunan akibat adanya investasi modal. 

Contohnya, sepanjang perbatasan Kota Madiun bagian timur kearah Kabupaten Madiun, banyak bermunculan perumahan-perumahan klaster yang bertujuan untuk menampung warga Kota Madiun dan dari daerah lain untuk bertempat tinggal dan bekerja di wilayah ini. Lokasi perumahannya mayoritas dimana? Di wilayah Kabupaten Madiun. Implikasinya, banyak tenaga kerja terampil berpotensi untuk masuk ke wilayah Kabupaten Madiun. Mereka akan bertempat tinggal, membayar pajak, menyekolahkan anak (mungkin), dan menghabiskan bertahun-tahun di kabupaten.

Secara langsung, tentu Kabupaten Madiun akan menerima manfaat dari PAD yang masuk dan juga dapat bonus SDM terampil yang berpotensi berkontribusi terhadap pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Madiun. Pun, secara tidak langsung, munculnya perumahan-perumahan secara serempak akan menarik investasi lainnya untuk infrastruktur pendukung seperti pusat perbelanjaan, pertokoan, pergudangan, industri, dan lain sebagainya.

Terlebih, selain tumbuhnya permukiman baru berciri perkotaan di Kabupaten Madiun, sebenarnya selama ini Kabupaten Madiun dan kabupaten lain di WP Madiun dan sekitarnya sedang menikmati pertumbuhan sektor Industri Pengolahan atau kita kenal sebagai industri manufaktur. Lihat saja data BPS untuk sektor industri pengolahan. Dari tahun 2019, PDRB Industri Pengolahan di Kota Madiun itu cuma naik sedikit, dari 2,290 triliun rupiah ke 2,340 triliun rupiah. Kabupaten Madiun, naik hampir 75% bos selama 5 tahun. 

Tahun 2019, PDRB Sektor Industri Pengolahan Kabupaten Madiun mencapai 2,055 triliun rupiah. Masuk 2023, sudah mencapai angka 3,435 triliun rupiah. Kenaikan serupa juga terlihat di Kabupaten Magetan, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Pacitan, dan Kabupaten Ponorogo (Badan Pusat Statistik). Jadi, stereotype Kota Madiun sebagai kota industri itu sudah nggak berlaku menurut saya. Industri memang cocok untuk masuk ke kabupaten karena jumlah tenaga kerja dan juga luas wilayahnya yang memadai, disisi lain merupakan pertanda bagus karena investasi tidak hanya terpusat di kota.

Inti yang ingin saya sampaikan adalah, sebenarnya isu utama itu bukan urusan identitas daerah atau tentang pembangunan yang “wah”. Sebaliknya, isu utama adalah mengenai keterhubungan dan sinergitas antara dua daerah ini. Saling berbagi beban itu dalam konteks pembangunan daerah merupakan hal yang positif, apalagi “beban” yang dimaksud adalah masuknya investasi modal, bukan liabilitas. Solusi dari bagaimana dua daerah ini untuk maju ya saling bekerjasama, Madiun kota dengan potensinya dan Kabupaten Madiun dengan sumber daya-nya.

Seharusnya, kalau kita logika, kalau kota bertumbuh, pasti daerah sekitarnya juga ikut bertumbuh. Kabupaten menyediakan apa yang tidak dimiliki kota, pasar tenaga kerja, lahan, dan juga pasar ekonomi yang jauh lebih besar. Sedangkan kota memiliki tarikan investasi modal di bidang industri tersier yang lebih seksi. Keduanya tidak ada yang salah, justru bisa melengkapi satu sama lain.

Referensi: 
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Tahun 2011-2031 https://jatim.bps.go.id/indicator/153/81/1/luas-wilayah-menurut-kabupaten-kota.html

Penulis:  Ferdian Wibowo. Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Insitut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya